Ahad 07 May 2023 22:55 WIB

Laporan PBB: Sudan Selatan Masih Berjuang Terapkan Pembagian Kekuasaan

Sudan Selatan hadapi bentrokan kekerasan, kekecewaan serta frustrasi yang meningkat

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Warga mendistribusikan makanan di Pieri, Sudan Selatan. World Food Programe mendistribusikan makanan kepada 29 ribu warga dimana 6.600 diantaranya adalah anak-anak di bawah umur lima tahun.
Foto: Gabriela Vivacqua/WFP
Warga mendistribusikan makanan di Pieri, Sudan Selatan. World Food Programe mendistribusikan makanan kepada 29 ribu warga dimana 6.600 diantaranya adalah anak-anak di bawah umur lima tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan, Sudan Selatan menghadapi bentrokan kekerasan dan kekecewaan serta frustrasi yang meningkat. Wilayah itu berjuang untuk menerapkan ketentuan perjanjian pembagian kekuasaan pada 2018.

Hasil tersebut berasal dari para ahli yang memantau sanksi terhadap negara terbaru di dunia itu. Hasil dari pemantauan ini dituangkan dalam sebuah laporan yang dilaporkan kepada Dewan Keamanan PBB.

Negara terbaru di dunia ini sedang berjuang untuk mengintegrasikan kekuatan militer yang bersaing. Mereka juga masih perlu menyusun konstitusi baru dan mempersiapkan pemilihan pertamanya sebagai negara merdeka pada Desember 2024.

"Stabilitas negara kemungkinan besar akan mengaktifkan kemampuan pemerintah untuk menghargai kesabaran mereka yang tetap berkomitmen pada perdamaian, daripada mereka yang berusaha membentuknya kembali melalui kekerasan,” kata laporan tersebut.

Ada harapan besar ketika Sudan Selatan yang kaya minyak memperoleh kemerdekaan dari Sudan pada 2011 setelah konflik yang panjang. Namun negara itu mengalami perang saudara pada Desember 2013 yang sebagian besar didasarkan pada perpecahan etnis. Saat itu pasukan yang setia kepada presiden saat ini Salva Kiir melawan mereka yang setia kepada wakil presiden saat ini Riek Machar.

Puluhan ribu orang meninggal dalam perang yang berakhir dengan perjanjian damai 2018, menyatukan Kiir dan Machar dalam pemerintahan persatuan nasional. Berdasarkan perjanjian tersebut, pemilihan seharusnya diadakan pada Februari 2023, tetapi Agustus lalu ditunda hingga Desember 2024.

Kiir mengatakan, ingin menghindari terciptanya kondisi yang menciptakan lebih banyak pertumpahan darah. Dia mengeluarkan pernyataan yang menguraikan pencapaian pemerintah dan menekankan.

Pakar PBB mengatakan pesan itu ditujukan untuk meredakan dua kekhawatiran. Perpanjangan itu akan digunakan untuk merusak struktur pembagian kekuasaan yang rapuh dan berarti penundaan lebih lanjut."Bukan kemajuan yang pernah dijanjikan perdamaian," ujarnya,

Sisi positifnya, panel mengatakan dalam laporan setebal 37 halaman, pemerintah persatuan telah bertahan, serangkaian undang-undang telah mulai membuka jalan bagi penyusunan konstitusi bar. Angkatan pertama sekitar 55 ribu tentara bersatu telah lulus pelatihan.

Sisi negatifnya, kata para ahli, sebagian besar pasukan yang lulus tetap berada di sekitar pusat pelatihan. "Meskipun kondisi yang buruk telah menyebabkan ratusan kematian dan ribuan desersi," katanya.

Banyak lulusan tidak menerima gaji tetap. Sebagian besar bekerja di komunitas lokal untuk menghasilkan uang.

Mereka yang dikerahkan tampaknya telah bergabung dengan unit militer yang sudah ada daripada menjadi bagian dari pasukan nasional yang baru. Sementara para pihak sepakat tahun lalu untuk menyatukan struktur komando tertinggi, mereka belum dapat mencapai kesepakatan serupa untuk jajaran bawah.

Sudan Selatan juga menghadapi tingkat pengungsian tertinggi sejak perjanjian damai. Lebih dari dua pertiga penduduk membutuhkan bantuan kemanusiaan. Para ahli mengatakan, sebagian besar orang Sudan Selatan belum melihat kemajuan nyata sejak perjanjian 2018 ditandatangani.

Selain itu, minyak memang menyumbang lebih dari 90 persen dari pendapatan pemerintah dan hampir semua ekspornya. Sebagai akibat dari harga minyak yang tinggi, pemerintah kemungkinan akan melampaui target anggarannya sebesar 1,6 miliar dolar AS pendapatan minyak kotor untuk tahun fiskal saat ini.

Tapi para ahli mengatakan,uang itu sebagian besar gagal mencapai lembaga yang dapat membantu menstabilkan negara. “Penyalahgunaan dan pengalihan sumber daya publik tidak hanya terus memicu persaingan politik tetapi juga merampas perbendaharaan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasi krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung, mendanai implementasi perjanjian damai, dan menstabilkan negara melalui pembayaran gaji rutin dan pembangunan," kata panel itu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement