Rabu 10 May 2023 08:08 WIB

Kekerasan di Myanmar Hingga Perseteruan Laut Cina Selatan Jadi Tantangan Berat Bagi ASEAN

Pemimpin ASEAN akan mengeluarkan seruan untuk menahan diri di Laut Cina Selatan.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Pekerja memasang bendera negara anggota ASEAN di kawasan Mice, Desa Golo Mori, Labuan Bajo, NTT (ilustrasi).
Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Pekerja memasang bendera negara anggota ASEAN di kawasan Mice, Desa Golo Mori, Labuan Bajo, NTT (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, LABUAN BAJO -- Kekhawatiran atas perselisihan sipil mematikan yang masih berlangsung di Myanmar, termasuk serangan bersenjata terhadap konvoi bantuan, dan tindakan agresif Cina di Laut Cina Selatan yang disengketakan menjadi topik hangat dalam KTT ASEAN di Labuhan Bajo.

Diplomat tertinggi Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) bertemu pada Selasa (9/5/2023) di Kota Labuan Bajo untuk menyelesaikan agenda menjelang pertemuan puncak kepala negara blok 10 negara itu. 

Baca Juga

Amerika Serikat dan Cina bukan bagian dari pembahasan dalam KTT ASEAN. Tapi persaingan kedua negara tersebut semakin meningkat. Beijing telah memperingatkan bahwa, upaya AS untuk memperkuat aliansi keamanan dan mengintensifkan latihan kesiapan tempur dengan sekutu Asia akan membahayakan stabilitas regional.

ASEAN telah menghindari terjerat dalam persaingan kekuatan besar sebagai sebuah blok. Tetapi negara anggota ASEAN yang beragam, kerap terlibat dalam kemitraan dan perselisihan dengan negara adidaya. Mulai dari Kamboja, Laos, dan Myanmar yang otoriter, sangat dekat dengan Beijing. 

Kemudian negara demokrasi liberal seperti Filipina, merupakan sekutu Washington di Asia. Belum lama ini, Filipina mengizinkan perluasan kehadiran militer Amerika di negara tersebut. Anggota ASEAN lainnya yaitu Brunei, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam memiliki keterlibatan ekonomi dan keamanan dengan AS dan Cina.

“ASEAN ingin tetap terbuka, bekerja sama dengan siapa saja. Kami juga tidak ingin ASEAN menjadi proxy siapa pun," kata Presiden Indonesia Joko Widodo.

Prinsip-prinsip dasar anggota ASEAN yaitu tidak mencampuri urusan rumah tangga satu sama lain, dan memutuskan dengan konsensus. Prinsip ini telah menyatukan kelompok otokrat, raja, dan demokrasi selama beberapa dekade.  Tetapi pendekatan itu menghalangi ASEAN menangani krisis dengan cepat hingga menyebar melintasi perbatasan.

Prinsip-prinsip ASEAN telah diuji sejak tentara Myanmar merebut kekuasaan dari pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada Februari 2021 dan menjerumuskan negara itu ke dalam kekacauan yang mematikan. Kekacauan di Myanmar ini menjadi salah satu krisis paling parah sejak ASEAN didirikan pada 1967.

Lina Alexandra dari Pusat Studi Strategis dan Internasional di Jakarta mengatakan, ketidakmampuan ASEAN  mengatasi potensi kebakaran politik seperti krisis Myanmar secara persuasif dan cepat, harus mendorong kelompok tersebut untuk melihat kembali prinsip-prinsip pendiriannya.

“ASEAN tidak bisa lagi bersembunyi di bawah prinsip non-interferensi dan konsensus. Semua itu dapat bekerja dalam situasi tidak mendesak yang tidak memerlukan kecepatan dan pengambilan keputusan segera untuk mengendalikan krisis," kata Lina.

Indonesia mengurangi kritik kerasnya terhadap militer Myanmar sejak terpilih menjadi ketua ASEAN tahun ini. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, Indonesia mengambil pendekatan diplomasi non-megafon untuk mendorong dialog dan mengakhiri kekerasan. Ini tujuan dari rencana perdamaian lima poin yang dinegosiasikan para pemimpin Asia Tenggara dengan jenderal tertinggi Myanmar pada 2021.

Di bawah tekanan internasional untuk berupaya mengatasi kekerasan, para pemimpin ASEAN tidak lagi mengundang jenderal tertinggi Myanmar dalam pertemuan tingkat tinggi setelah tahun 2020. ASEAN hanya mengizinkan perwakilan non-politik.  Penguasa militer Myanmar telah memprotes tindakan tersebut sebagai pelanggaran terhadap kebijakan non-interferensi blok ASEAN.

"Singkatnya, organisasi ini sekarang sedang menghadapi krisis eksistensial," kata dosen urusan internasional di Universitas Filipina yang dikelola pemerintah, Richard Heydarian.

Berdasarkan draft komunike KTT ASEAN yang diperoleh Associated Press, para pemimpin akan mengutuk serangan udara mematikan yang dilaporkan oleh militer Myanmar. Dalam draft itu, mereka menyatakan bahwa segala bentuk kekerasan harus segera diakhiri, terutama penggunaan kekuatan terhadap warga sipil.

Para pemimpin ASEAN berencana mengeluarkan kembali seruan untuk menahan diri di Laut Cina Selatan yang disengketakan. Ini mengulangi bahasa yang digunakan dalam pernyataan ASEAN sebelumnya yang tidak menyebut Cina.

“Keprihatinan diungkapkan beberapa negara anggota ASEAN atas reklamasi lahan, aktivitas, dan insiden serius di kawasan tersebut, termasuk kerusakan lingkungan laut, yang telah mengikis kepercayaan dan keyakinan, meningkatkan ketegangan, dan dapat merusak perdamaian, keamanan, dan stabilitas di wilayah tersebut,” ujar pernyataan dalam draf komunike yang diperoleh AP.

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement