Selasa 23 May 2023 17:34 WIB

Belajar Kepemimpinan dari Buya Hamka dan Kiai Sjaichu 

Buya Hamka dan Kiai Sjaichu merupakan ulama berpengaruh.

Red: Erdy Nasrul
Bung Hatta, Pakiah Saleh Eks Dogoelis, dan Buya HAMKA Tahun 1970.
Foto:

Oleh : Fathurrochman Karyadi; lulusan Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Kiai Sjaichu menganalisis soal kepemimpinan bahwa seseorang yang mempunyai kedudukan nomor satu, bertitel ketua, atau tokoh utama, tidak otomatis dapat dikategorikan sebagai ‘pemimpin’. Ada dua pertanyaan yang perlu diajukan, yang pertama, apakah ia naik dari anak tangga bawah lalu ke atas, atau langsung dari atas saja? Pertanyaan kedua, apakah ia ‘manunggal’ atau menyatu dengan masyarakat atau orang yang dipimpin atau tidak?

Pemimpin yang berasal dari anak tangga bawah pun, perlu diuji kembali. Apakah ia tetap konsisten dengan jalur perjuangannya setelah berada di atas? Karena, bagi Kiai Sjaichu, ada pemimpin yang hanya memanfaatkan anak tangga sebelumnya, setelah di atas ia tidak mengulurkan kasih sayang, enggan menengoknya lagi. Di sinilah tanggung jawabnya terhadap umat luntur dan rapuh. 

Pemimpin memang bisa dinilai dari bobot kemampuan (skill) dan intelektual, namun bagi Kiai Sjaichu tak cukup dari itu saja. Masih diperlukan konsisten dan konsekuen dalam pendirian dan sikap.  Di samping itu, ia harus memiliki sikap keberanian mengatakan kebenaran apa pun risikonya. Yang hitam adalah hitam, dan putih tetaplah putih.

Karena tidak sedikit pemimpin yang sikapnya labil dan tidak punya pendirian. Yang terjadi,  pendiriannya selalu condong ke mana arah mata angin berembus. Karakter pemimpin seperti ini, menurut Kiai Sjaichu, akan lebih suka membawa pesan dari atas daripada menyuarakan aspirasi umat atau rakyat yang dipimpinnya. 

Kiai Sjaichu menyatakan terus terang bahwa Buya Hamka termasuk seorang pemimpin. Buya Hamka memiliki akar yang kuat sebagai ulama, jurnalis, dan sastrawan. Kesaksian Kiai Sjaichu ini dituliskannya dalam testimoni buku bunga rampai Hamka di Mata Hati Umat (1996: 225-232).

Secara karier kepemimpinan, Kiai Sjaichu pernah menjadi Kepala Madrasah NU Surabaya, Ketua NU Ranting Kertopaten Surabaya, Ketua NU Cabang Kotamadya Surabaya, Ketua NU Wilayah Jawa Timur,  Ketua I PBNU, Ketua Ittihadul Muballighin, Presiden CC O.I.I. (Organisasi Islam Internasional), Ketua Haiah Ta'miril Masajid Indonesia, dan Ketua DPR RI (1966-1977).

 

Kiai Sjaichu wafat di usia 74 pada Rabu, 4 Januari 1995, pukul 13.55 WIB. Baik Buya Hamka maupun Kiai Sjaichu hingga kini namanya terus dikenang. Buya Hamka meninggalkan banyak karya tulis. Sementara Kiai Sjaichu, tujuh tahun sebelum wafatnya, pada 1988 ia mendirikan Pesantren Al-Hamidiyah, di Depok, Jawa Barat. Dari lembaga pendidikan inilah, Kiai Sjaichu mengader para ulama, dai, dan pemimpin untuk Indonesia di masa depan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement