REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Pejabat senior Rusia sekutu Presiden Vladimir Putin yang juga menjabat Wakil Ketua Dewan Keamanan Federasi Rusia, Dmitry Medvedev, pada Jumat (26/5/2023), memperingatkan Barat secara serius, meremehkan risiko perang nuklir atas Ukraina. Medvedev memperingatkan Rusia tak segan akan melancarkan serangan pencegahan jika Ukraina memiliki senjata nuklir.
Invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022 telah memicu konflik Eropa paling mematikan sejak Perang Dunia Kedua dan konfrontasi terbesar antara Moskow dan Barat sejak Krisis Rudal Kuba tahun 1962. Rusia, yang memiliki lebih banyak senjata nuklir daripada negara lain, telah berulang kali mengingatkan Barat, konsekuensi bila terlibat dalam perang proksi dengan Rusia atas Ukraina, yang dapat meningkat menjadi konflik yang jauh lebih besar.
"Ada hukum perang yang tidak dapat diubah. Jika menyangkut senjata nuklir, maka harus ada serangan pencegahan," kata Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia Dmitry Medvedev seperti dikutip oleh kantor-kantor berita Rusia.
Menurutnya mengizinkan Ukraina memiliki senjata nuklir, sebuah langkah yang belum pernah ditawarkan oleh negara Barat secara terbuka. "Yang berarti rudal dengan muatan nuklir akan menghantam mereka," kata Medvedev, yang menjabat sebagai presiden dari tahun 2008 hingga 2012.
"Orang-orang Anglo-Saxon tidak sepenuhnya menyadari hal ini dan percaya bahwa hal ini tidak akan terjadi," kata Medvedev.
Medvedev, yang pernah menampilkan dirinya sebagai seorang modernis liberal, kini menampilkan dirinya sebagai penjaga Kremlin yang sangat anti-Barat. Para diplomat mengatakan bahwa pandangannya memberikan indikasi pemikiran di tingkat atas elit Kremlin.
Negara Barat mengatakan mereka ingin membantu Ukraina mengalahkan Rusia, namun Presiden AS Joe Biden telah memperingatkan bahwa konfrontasi langsung antara aliansi militer NATO yang didukung AS dan Rusia akan mengakibatkan pecahnya Perang Dunia Ketiga.
Rusia mengatakan Washington tidak akan pernah mengizinkan Moskow mempersenjatai sebuah negara yang berbatasan dengan Amerika Serikat. Namun Kremlin menyadari pada dasarnya kini Barat telah berperang dengan Rusia.
Ketika Ukraina memperoleh kemerdekaan setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1991, negara ini memiliki ribuan senjata nuklir. Selanjutnya Ukraina menyerahkan senjata-senjata itu kepada Rusia di bawah Memorandum Budapest 1994, sebagai imbalan atas jaminan keamanan dan kedaulatannya dari Rusia, Amerika Serikat, dan Inggris.