REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, krisis utang yang dialami Amerika Serikat (AS) saat ini berbeda dengan krisis pada 2008. Diketahui, yang terjadi pada 2008 merupakan guncangan ekonomi besar yang menerpa ranah internasional.
"Jika dibandingkan dengan konteks krisis pada 2008, saya kira memang penyebabnya berbeda. Karena pada 2008 asal mula krisis adalah dari gelembung properti dan kemudian merembet ke sektor keuangan, sementara untuk isu krisis utang yang saat ini dialami Amerika Serikat terkait penyesuaian batas utang yang diperbolehkan oleh kebijakan di AS," kata Yusuf kepada Republika.co.id, Ahad (28/5/2023).
Sehingga, ada yang perlu disesuaikan mengingat kebutuhan utang AS meningkat karena kebutuhan belanja pun mengalami peningkatan. "Kalau berbicara dampak, saya kira krisis 2008 masih relatif lebih besar dampaknya karena ketika itu krisisnya menular ke sektor keuangan di berbagai negara," ujarnya.
Saat itu, pasar finansial dunia terguncang akibat pecahnya gelembung kredit perumahan di Amerika Serikat (AS), dipicu derasnya aliran dana kepada para peminjam yang sebenarnya tidak mampu membayar. Rentetan kebangkrutan sejumlah lembaga peminjaman mencapai puncak dengan jatuhnya bank investasi Lehmann Brothers.
Keterhubungan pasar finansial global membuat krisis menular ke penjuru dunia. Saham-saham berguguran, harga komoditas melonjak, dan negara-negara maju mencatatkan pertumbuhan negatif. Sedangkan, pertumbuhan ekonomi negara berkembang melambat.
Di Indonesia, pasar keuangan termasuk saham dan obligasi juga terkena cipratan dampak krisis ini. Namun, dampak krisis tersebut masih bisa diredam karena pertumbuhan ekonomi yang lebih bergantung pada permintaan domestik alih-alih ekspor, kuatnya relasi perdagangan antara negara berkembang, serta gerak cepat otoritas keuangan dan Bank Indonesia (BI) dalam meredam guncangan. Pertumbuhan ekonomi pun kembali pulih ke kisaran lima persen pada 2010.