Selasa 30 May 2023 12:09 WIB

Gara-gara Tulis Dokumen Palsu Pakai ChatGPT, Pengacara Ini Terancam Sanksi

Seorang pengacara menulis ringkasan hukum menggunakan ChatGPT.

Rep: Santi Sopia/ Red: Natalia Endah Hapsari
 Seorang pengacara terancam sanksi akibat meminta bantuan chatbot milik OpenAI tersebut./ilustrasi
Foto: Unsplash
Seorang pengacara terancam sanksi akibat meminta bantuan chatbot milik OpenAI tersebut./ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Kecerdasan buatan (AI) telah menjadi fenomena yang mencapai puncaknya dalam beberapa bulan terakhir. Namun banyak orang khawatir jika produk AI seperti ChatGPT bisa menghilangkan banyak pekerjaan yang tadinya dilakukan manusia.

Tetapi kali sebuah kasus menimpa seorang pengacara yang terancam sanksi akibat meminta bantuan chatbot milik OpenAI tersebut. Seorang pengacara asal New York, bernama Steven Schwartz dari firma hukum Levidow, Levidow dan Oberman, menulis ringkasan hukum menggunakan ChatGPT, seperti diberitakan NY Times, dikutip dari Engadget, Selasa (30/5/2023).

Baca Juga

Sayangnya, ringkasan hukum yang dibuatnya ternyata banyak berisi kutipan palsu. Perusahaan Schwartz mencoba menggugat maskapai Colombia Avianca atas nama Roberto Mata, yang mengklaim dia terluka dalam penerbangan ke Bandara Internasional John F. Kennedy di New York City.

Ketika maskapai meminta hakim federal untuk membatalkan kasus itu, pengacara tersebut mengajukan penjelasan singkat setebal 10 halaman, termasuk alasan gugatan tersebut harus dilanjutkan.

Dokumen tersebut mengutip lebih dari enam keputusan pengadilan, termasuk “Varghese v. China Southern Airlines,” “Martinez v. Delta Airlines” dan “Miller v. United Airlines.” Padahal, keputusan pengadilan yang dikutip oleh pengacara dalam dokumen tersebut tidak pernah ada. Hal itu karena tulisan yang diambil dari ChatGPT tersebut adalah palsu.

Dalam pernyataan tertulis yang diajukan, Schwartz mengakui telah menggunakan chatbot untuk "melengkapi" penelitiannya untuk kasus tersebut. Schwartz menulis bahwa dia tidak menyadari kemungkinan bahwa konten (ChatGPT) bisa salah.

Dia bahkan membagikan tangkapan layar yang menunjukkan bahwa dia telah bertanya kepada ChatGPT tentang kasus yang dikutip itu benar-benar nyata. Program tersebut menjawabnya, mengklaim bahwa keputusan tersebut dapat ditemukan di "database hukum yang memiliki reputasi baik", termasuk Westlaw dan LexisNexis.

Schwartz mengaku sangat menyesal menggunakan ChatGPT dan tidak akan pernah melakukannya di masa mendatang tanpa adanya verifikasi mutlak atas keasliannya. Soal dia masih memiliki kesempatan lain untuk menulis laporan hukum, belum jelas sampai saat ini.

Hakim yang mengawasi kasus tersebut telah memerintahkan sidang tanggal 8 Juni untuk membahas potensi sanksi atas keadaan yang belum pernah terjadi sebelumnya akibat tindakan Schwartz tersebut.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement