Senin 05 Jun 2023 16:19 WIB

Lokananta Lahir dari Keresahan Maladi pada Dominasi Lagu Barat (Bagian 1)

Pemberian nama label Indra Vox untuk studio rekaman yang berdiri di Solo tersebut membuat Presiden Soekarno tidak dapat menerimanya.

Rep: MASPRIL ARIES/ Red: Partner
.
Foto: network /MASPRIL ARIES
.

Menteri BUMN Erick Thohir meresmikan Lokananta yang telah direvitalisasi. (FOTO : Republika/ Alfian)

KAKI BUKIT – Sejarah Lokananta adalah sejarah musik Indonesia dan sejarah industri musik di Indonesia. Pasca kemerdekaan Indonesia atau sekitar tahun 50-an, stasiun radio yang ada di Indonesia kerap memutar lagu-lagu dari Barat karena memang saat itu stok lagu Indonesia karya anak bangsa masih sedikit.

Tak terkecuali Radio Republik Indonesia (RRI) juga ikut memutar lagu-lagu Barat. Nama-nama musisi dan penyanyi dari Barat seperti Nat King Cole, Frank Sinatra, dan Elvis Presley merajai tangga lagu musik RRI, mereka mengalahkan penyanyi-penyanyi lokal yang lebih dikenal membawakan lagu-lagu daerah.

Dominasi lagu-lagu Barat tersebut menurut penelitian Philip Yampolsky, “Lokananta A Discography of The National Recording Company of Indonesia 1957-1985,” (1987), membuat resah Direktur RRI Jakarta yang saat itu dijabat Maladi resah melihat kenyataan bahwa lagu Barat mendominasi pasar pendengarnya.

Maladi lalu menginstruksikan kepada 49 jaringan RRI di seluruh Indonesia untuk mengirimkan rekaman lagu daerah masing-masing. Setiap stasiun lokal minimal mengirimkan dua buah lagu. Dalam waktu singkat, RRI memiliki 98 buah lagu daerah dari seluruh pelosok Nusantara. Seluruh koleksi itu akhirnya diperbanyak dalam bentuk piringan hitam dan disebarkan kembali ke seluruh cabang RRI di seluruh Indonesia.

Maladi yang pernah menjabat Menteri Penerangan selama dua periode (Kabinet Kerja I dan Kabinet Kerja II), bersama dua rekannya R. Oetojo Soemowidjojo dan R. Ngabehi Soegoto Soerjodipoero yang menjabat sebagai Kepala Studio dan Kepala Teknik Produksi RRI Surakarta, berinisiatif mendirikan pabrik piringan hitam milik pemerintah.

Pabrik yang menggandakan piringan hitam tersebut awalnya hanya memenuhi kebutuhan siaran RRI. Tepat tanggal 29 Oktober 1956 pukul 10 pagi, pabrik piringan hitam tersebut resmi berdiri di Solo. Setelah master rekaman lagu-lagu daerah terkumpul, rekaman tersebut diperbanyak dalam bentuk piringan hitam dengan nama label “Indra Vox” atau singkatan dari Indonesia Raya Vox.

Pemberian nama label Indra Vox untuk studio rekaman yang berdiri di Solo tersebut membuat Presiden Soekarno tidak dapat menerimanya. Alasannya nama tersebut mengandung unsur asing. Lalu lahirlah nama “Lokananta.”

Nama Lokananta merujuk pada seperangkat gamelan surgawi dalam cerita pewayangan Jawa yang dapat berbunyi sendiri dengan nada yang indah. Menurut Philip Yampolsky, nama Lokananta diambil dari mitos Jawa yaitu gamelan pertama yang diciptakan oleh dewa bernama Bathara Guru.

Lokananta resmi berdiri dengan nama lengkap Pabrik Piringan Hitam Lokananta Jawatan Radio Kementerian Penerangan Republik Indonesia di Surakarta. Pada awalnya Lokananta mengemban tugas untuk memproduksi sekaligus mendistribusikan materi siaran untuk Radio Republik Indonesia dalam bentuk piringan hitam.


Salah satu sudut ruang pamer di Lokananta.

Versi lain tentang pendirian Lokanantan dari buku “20 Tahun Indonesia Merdeka Jilid IX” yang diterbitkan Departemen Penerangan menyebutkan, “Pendiriannya merupakan realisasi dari gagasan yang dicetuskan oleh Direktur Jenderal Radio Republik Indonesia (RRI) pada 1954.”

Namun demikian, sebenarnya tahun1952 RRI telah menyiapkan rencana pembangunan untuk jangka waktu selama lima tahun secara keseluruhan dalam bidang program, peralatan teknik dan studio, serta personil dengan suatu garis kebijakan yaitu mendahulukan pembangunan pada studio studio di daerah.

Dengan kata lain menurut Dhanang Respati Puguh dalam “Perusahaan Rekaman Lokananta, 1956-1990-an: Perkembangan Produksi dan Kiprahnya dalam Penyebarluasan Seni Pertunjukan Jawa Surakarta” (2018), pendirian Lokananta merupakan realisasi dari rencana pembangunan yang terkait dengan upaya untuk menopang keberadaan stasiun RRI yang berada di beberapa daerah.

Pada awal tahun 1958 atau 1959, piringan hitam yang sudah diperbanyak kemudian disebarluaskan ke seluruh cabang RRI di Indonesia dengan nama label baru Lokananta. Inilah sejarah cikal bakal berdirinya studio rekaman atau label musik bernama Lokananta Record yang kemudian pada 3 Juni 2023 diresmikan kembali revitalisasinya oleh Menteri BUMN Erick Thohir.

Sejak saat itu Lokananta menjadi aset berharga milik Bangsa Indonesia yang merupakan industri rekaman pertama miliki negara. Lambat laun seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi rekaman Lokananta mulai ditinggalkan.

Pada masa kejayaannya, Lokananta Records termasuk label rekaman modern di Indonesia. Walau perusahaan rekaman yang dibiayai pemerintah, peralatan rekaman Lokananta memiliki sebuah Mixer analog Trident London series 80 B. Alat tersebut sama dengan yang digunakan BBC London masa itu.

Pada masa Orde Baru Lokananta menjadi perusahaan rekaman memiliki peralatan produksi yang sangat lengkap. Pada tahun 1980-an luas studio rekaman Lokananata berukuran 25 x 13 x 7 meter, memiliki mixer 32 track, pencetak piringan hitam, high-speed duplicating kaset hingga mesin penggandaan format video Betamax dan VHS. Saat berada di bawah Departemen Penerangan (Deppen), Lokananta memiliki peralatan rekaman terbaik seperti ada di Eropa.

Sebagai studio rekaman, Lokananta mulai merekam lagu berjudul “Kembang Kacang” yang menjadi karya lagu pertama masuk dapur rekaman studio Lokananta Records, lagu tersebut dinyanyikan penyanyi Waldjinah. Kemudian Lokananta Records terus merekam lagu-lagu Waldjinah ke dalam piringan hitam. Piringan hitam tersebut ada yang masih tersimpan di Lokananta.

Kemudian album rekaman Waldjinah di Lokananta yang berjudul “Entit” menandai peralihan produksi rekaman piringan hitam ke kaset. (maspril aries)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement