REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU – Tiga orang pelaku tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berhasil ditangkap Satgas TPPO Polres Indramayu. Kasus itupun masih terus dikembangkan untuk mengungkap peran pihak lain di luar ketiga pelaku.
Adapun ketiga pelaku itu masing-masing berinisial DS (29 tahun) dan ES (46), warga Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu serta TR (46) warga Kecamatan Ligung, Kabupaten Majalengka.
Keberhasilan penangkapan terhadap tiga orang pelaku itu berkat gerak cepat Satgas TPPO Polres Indramayu setelah mendapat perintah kapolri dan kapolda Jabar. Pimpinan Polri di tingkat pusat dan provinsi itu menginstruksikan agar seluruh jajarannya melaksanakan penanganan kasus TPPO.
‘’Sejak dapat perintah itu pada Senin (5/6/2023), kami langsung membentuk Satgas TPPO. Dan tidak lama setelah pembentukannya, satgas melakukan penyidikan dan penangkapan terhadap tersangka TPPO,’’ ujar Kapolres Indramayu, AKBP M Fahri Siregar, dalam Press Release di Mapolres Indramayu, Kamis (8/6/2023) sore.
Fahri menjelaskan, dalam kasus tersebut, DS berperan sebagai petugas lapangan yang mencari korban. Sedangkan TR sebagai sponsor dan ES sebagai koordinator perekrutan calon pekerja migran Indonesia (PMI) di Kabupaten Indramayu.
Menurut Fahri, DS memanfaatkan media sosial Facebook dengan nama akun ‘Mamahnya Hannan Fattah’ untuk menjaring para korbannya. Dalam akun tersebut, pelaku mengaku sebagai sponsor dan menawarkan lowongan pekerjaan sebagai PMI di Dubai, Uni Emirat Arab.
Pelaku menjanjikan korbannya gaji sebesar Rp 5 juta per bulan di negara penempatan. Mereka juga menjanjikan proses cepat dan memberikan uang fee atau jeratan hutang kepada korbannya.
DS pun bekerja sama dengan TR dan ES dalam menjerat dan memberangkatkan korbannya secara ilegal. ‘’Para tersangka merekrut dan memberangkatkan orang ke Abu Dhabi (ibu kota UEA), yang merupakan negara moratorium untuk penempatan PMI,’’ ujar Fahri.
Fahri mengatakan, DS mengaku sudah 15 kali melakukan perekrutan terhadap calon PMI sejak beberapa tahun terakhir. Salah satu korbannya adalah Daenah (32), warga Desa Pranggong, Kecamatan Arahan, Kabupaten Indramayu.
Tak hanya dijanjikan gaji Rp 5 juta per bulan, Daenah juga diberikan fee sebesar Rp 3 juta oleh pelaku. Fee itu diberikan secara bertahap sebelum korban diberangkatkan ke UEA pada Januari 2022 silam.
Namun, setelah sampai di UEA dan bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART), korban ternyata tak menerima haknya seperti yang dijanjikan oleh pelaku. Korban baru menerima gaji setelah bekerja kurang lebih tiga bulan.
Gaji yang akhirnya diterima korban pun hanya sebesar 1.200 Dirham atau sekitar Rp 4,5 juta dan tidak sesuai perjanjian. Korban juga sempat berganti empat kali majikan.
Saat bekerja di majikan keempat, Daenah mendapat perlakuan kasar. Selain itu, korban juga mengalami kecelakaan jatuh dari tangga hingga korban dikeluarkan oleh majikannya.
Daenah saat itu sempat melapor ke kantor kepolisian setempat dan dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan. Korban juga melaporkan kasusnya ke Kantor KBRI setempat.
Setelah kejadian itu, korban pulang ke Indonesia dengan biaya sendiri. Korban kemudian menjalani operasi dan perawatan di RSUD Indramayu dan terancam mengalami cacat permanen pada tangannya akibat kecelakaan tersebut.
Ketiga pelaku yang memberangkatkan Daenah kini dijerat UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dan atau UU RI Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI).
Adapun ancaman hukumannya berupa penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun.
‘’Perkara ini terus kami kembangkan karena kami masih melakukan penyelidikan terhadap beberapa orang di luar Indramayu, terutama terkait tempat penampungannya,’’ kata Fahri.