Rabu 05 Jul 2023 10:28 WIB

Komnas Perempuan Kritisi Pemulihan Pelanggaran HAM Berat di Rumah Geudong

Komnas Perempuan mengkritisi pemulihan pelanggaran HAM berat di Rumah Geudong.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Ilustrasi pengaduan kasus HAM. Komnas Perempuan Kritisi Pemulihan Pelanggaran HAM Berat di Rumoh Geudong
Foto: mgrol101
Ilustrasi pengaduan kasus HAM. Komnas Perempuan Kritisi Pemulihan Pelanggaran HAM Berat di Rumoh Geudong

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komnas Perempuan mengingatkan pentingnya pelibatan substantif komunitas korban dan integrasi pengalaman perempuan dalam menyelesaikan secara Non-Yudisial pelanggaran HAM Berat pada masa lalu. Komnas Perempuan menitikberatkan perhatian khusus pada perempuan korban kekerasan seksual.

Komnas Perempuan mencatat persiapan peluncuran program di Rumoh Geudong Aceh minim pelibatan substantif. Termasuk komunitas korban dan pendamping yang selama ini secara mandiri melakukan upaya memorialisasi disana. 

Baca Juga

"Akibatnya, muncul kegaduhan terkait kekhawatiran bahwa akan ada penghancuran semua sisa bangunan Rumoh Geudong yang merupakan salah satu 'saksi bisu' pelanggaran HAM Berat saat Aceh berstatus Daerah Otonomi Militer (DOM), termasuk penyiksaan seksual. Atas desakan bersama, tugu memoralisasi, tangga, dan sumur masih ada pada saat peluncuran," kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin dalam keterangannya pada Selasa (4/7/2023). 

Mariana menegaskan isu memorialisasi perlu dipahami bukan sebagai sebuah ruang untuk menoreh luka lama. Ia meyakini memorialisasi adalah ruang merawat komitmen bersama mencegah keberulangan dan pemulihan korban, pelibatan semua pihak utamanya korban. 

"Karenanya, keluarga dan pendamping penting dalam merencanakan dan merealisasikan program memorialisasi. Bangsa ini pada waktunya berniat akan menggelar Pengadilan HAM Berat, penghilangan situs sama halnya dengan penghilangan bukti, dan ini tidak sejalan dengan kebijakan dibentuknya Tim PP HAM," ujar Mariana. 

Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah menemukan ada sejumlah isu kritis yang perlu diperhatikan. Ia sudah melakukan penggalian informasi dengan sejumlah anggota komunitas korban di Aceh. 

"Ada kekhawatiran bahwa inisiatif dukungan bagi korban ini hanya bersifat formalitas semata dan mungkin menimbulkan ketegangan baru di masyarakat karena hanya sebagian saja dari korban yang mendapatkan bantuan," ucap Alimatul. 

Kekhawatiran lainnya adalah perempuan korban tertinggal atau tidak ditangani secara khusus. Menurut Alimatul, perspektif korban dan keadilan gender sangat penting untuk memastikan hak korban atas kebenaran, keadilan dan reparasi penuh yang efektif atas penderitaan yang mereka alami benar-benar dapat diwujudkan.

"Upaya penyelesaian non yudisial telah didorong sejak lama. Di Aceh, upaya ini dilakukan dengan mendukung komunitas korban mengajukan Rumoh Geudong sebagai situs ingatan dan melalui kerja sama dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh untuk pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban," ucap Alimatul. 

Hal tersebut disampaikan Komnas Perempuan sebagai pengingat dari tindak lanjut peluncuran program di Rumoh Geudong di Aceh pada 27 Juni 2023. Program ini merupakan bagian dari pelaksanaan Keputusan Presiden No. 17 Tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu dan Inpres No. 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Mekanisme Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat. 

Dalam peluncuran program di Rumoh Geudong, Presiden menyampaikan sejumlah bantuan beasiswa dan peralatan untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi, serta berjanji untuk menjamin hak-hak dasar pendidikan, kesehatan, reparasi, dan pemulihan ekonomi para korban.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement