Kamis 06 Jul 2023 21:54 WIB

DJP Belum Bisa Pastikan Potensi Penerimaan Negara dari Pajak Natura

Ada jenis-jenis natura yang berbeda batasannya.

Aturan pajak natura baru (ilustrasi).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Aturan pajak natura baru (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan belum bisa memastikan potensi penerimaan negara dari pajak natura.

"Saya belum mengalkulasi secara keseluruhan karena kami menunggu SPT yang akan disampaikan pada 2024 untuk tahun kerja 2023," kata Suryo saat media briefing di Jakarta, Kamis (6/7/2023).

Baca Juga

Dia menjelaskan, pajak natura atau kenikmatan bertujuan untuk mendorong perusahaan pemberi kerja meningkatkan kesejahteraan karyawan. Guna mewujudkan hal tersebut, natura atau kenikmatan yang diterima oleh karyawan dapat dibiayakan oleh korporasi.

Suryo mengatakan tarif pajak korporasi atau PPh Badan sebesar 22 persen nantinya akan dikalkulasi oleh DJP untuk menghitung besaran potensi penerimaan pajak yang akan diperoleh negara.

Terlebih, tidak semua natura atau kenikmatan yang diterima oleh karyawan dikenakan pajak. Kementerian Keuangan telah mengatur jenis dan batasan nilai tertentu yang dikecualikan dari objek pajak.

"Ada jenis-jenis natura yang berbeda batasannya, ini yang menjadi bahan waktu kita berhitung. Jadi, plus-minus pajak natura nanti kita lihat di penghujung tahun 2023," ujar Suryo.

Diketahui, Kementerian Keuangan resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 66 Tahun 2023 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penggantian atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diterima atau Diperoleh dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan, pada 27 Juni 2023 dan telah diberlakukan sejak 1 Juli 2023.

Namun, terdapat sejumlah natura atau kenikmatan yang terbebas dari pajak. Jenis dan batasan nilai yang telah ditetapkan untuk natura atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek PPh mempertimbangkan Indeks Harga Beli/Purchasing Power Parity (OECD), Survei Standar Biaya Hidup (BPS), Standar Biaya Masukan (SBU Kemenkeu), Sport Development Index (Kemenpora), dan benchmark beberapa negara.

Misalnya, makanan/minuman di tempat kerja terbebas dari PPh, sementara kupon makan bagi karyawan dinas dibatasi sebesar Rp 2 juta per bulan atau senilai yang disediakan di tempat kerja.

Kemudian, bingkisan hari raya keagamaan terbebas dari pajak, sedangkan bingkisan selain hari raya keagamaan dibatasi maksimal Rp 3 juta per tahun.

Fasilitas olahraga selain golf, pacuan kuda, power boating, terbang layang, dan otomotif dibatasi maksimal Rp 1,5 juta per tahun. Fasilitas tempat tinggal komunal (asrama dan sebagainya) tanpa batasan nilai, sedangkan non-komunal (sewa apartemen/rumah) maksimal Rp2 juta per bulan.

Lalu, fasilitas kendaraan bukan objek pajak jika pegawai/penerima bukan pemegang saham dan penghasilan bruto dari pemberi kerja tidak lebih dari Rp 100 juta per bulan.

Sementara fasilitas terkait standar keamanan, kesehatan, dan keselamatan kerja dibebaskan dari pajak. Hal yang sama juga berlaku untuk sarana prasarana, dan fasilitas bagi pegawai beserta keluarga yang bekerja di daerah tertentu.

Peralatan dan fasilitas kerja serta fasilitas pelayanan kesehatan dan pengobatan dalam penanganan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kedaruratan, dan pengobatan lanjutan juga terbebas pajak. Fasilitas lain yang terbebas pajak adalah iuran kepada dana pensiun yang ditanggung pemberi kerja bagi pegawai serta fasilitas peribadatan.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement