REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Asia Philanthropy Circle (APC) hari ini merilis hasil Studi Lanskap Pengembangan Anak Usia Dini Regional. Studi ini adalah yang pertama dalam jenisnya dan merupakan pemetaan paling komprehensif hingga saat ini tentang program pengasuhan dan pengembangan anak usia dini di seluruh Asia, dengan fokus khusus pada Tiongkok, Singapura, Indonesia, dan Filipina.
Studi ini dilakukan oleh Centre for Evidence and Implementation (CEI) dan didukung oleh Tanoto Foundation dan anggota APC lainnya serta para dermawan di wilayah tersebut.
Temuan studi menunjukkan bahwa di keempat negara tersebut, terdapat peningkatan yang nyata dalam komitmen pemerintah untuk memberikan dukungan holistik kepada anak-anak, keluarga, dan masyarakat. Hal ini terlihat dari kebijakan dan undang-undang yang ada, serta investasi signifikan dalam bidang kesehatan dan pendidikan awal.
Namun, studi juga menunjukkan bahwa meskipun kebijakan nasional telah ada, terdapat tantangan dalam implementasi lokal, termasuk kurangnya pembiayaan yang berkelanjutan, kapasitas dan pengetahuan di sektor tersebut, serta hambatan sosial-ekonomi dan budaya lainnya.
"Periode awal perkembangan anak sangat penting dan akan memiliki dampak jangka panjang di masa depan. Kami ingin mendukung penelitian ini untuk lebih memahami kebutuhan sistem pengembangan anak usia dini di negara-negara ini. Tujuan penelitian ini sejalan dengan upaya kami untuk mendorong dukungan terhadap inisiatif yang mempromosikan pengembangan anak usia dini berkualitas di seluruh wilayah," kata Anggota Dewan Wali Amanat Tanoto Foundation Belinda Tanoto.
TanotoFoundation, organisasi filantropi independen di bidang pendidikan yang didirikan oleh Sukanto Tanoto dan Tinah Bingei Tanoto pada tahun 1981, adalah organisasi pertama yang mendekati APC untuk mengusulkan studi regional guna lebih memahami kesenjangan dan mengidentifikasi potensi kerja sama dalam bidang pengembangan anak usia dini.
"Filantropi di seluruh Asia, termasuk anggota-anggota APC, telah melakukan banyak pekerjaan dalam bidang anak usia dini, tetapi dengan memahami pemetaannya memungkinkan semua pihak menjadi lebih strategis dalam program-programnya," kata Stacey Choe, Chief Operating Officer Asia Philanthropy Circle.
"Penelitian ini membantu organisasi filantropi untuk menggali isu-isu yang belum ditangani dan menemukan area-area di mana kita dapat bekerja sama untuk menciptakan dampak yang lebih besar," tuturnya.
Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan panduan kepada para donor, penyedia layanan, lembaga pemerintah, dan pemangku kepentingan utama lainnya terkait kesenjangan-kesenjangan tersebut yang membutuhkan intervensi lebih lanjut, serta memberikan rekomendasi di sektor-sektor mana kerja sama dapat dilakukan untuk memperkuat dan meningkatkan hasil di area tersebut.
"Tanpa pemahaman yang jelas tentang situasi saat ini di suatu negara atau wilayah, para pemangku kepentingan sering bekerja secara terfragmentasi atau tidak terkoordinasi, menggandakan upaya atau menginvestasikan dana pada program-program yang tidak memenuhi kebutuhan masyarakat dengan baik," kata Dr. Gayatri Kembhavi-Tam, Associate Director, CEI, yang memimpin studi ini.
Pengembangan anak usia dini menjadi dasar bagi perkembangan fisik, emosional, dan intelektual anak yang baik, dan merupakan indikator kuat untuk perkembangan jangka panjang. Bukti terbaru menunjukkan bahwa untuk memberikan pengasuhan yang baik padamasa awal kehidupan anak membutuhkan akses kepada program dan layanan komprehensif antara masa kelahiran hingga usia enam tahun yang meliputi kebutuhan kesehatan dan perkembangan mereka, termasuk pendidikan awal. Beberapa kesenjangan umum di seluruh wilayah yang membutuhkan perhatian lebih lanjut antara lain:
• Beban ganda paradoks malnutrisi dan obesitas. Kasus malnutrisi dan stunting di Indonesia dan Filipina masih tinggi, sementara jumlah anak yang mengalami kelebihan berat badan dan obesitas meningkat di keempat negara tersebut. Hal ini menunjukkan potensi kurangnya akses informasi bagi pengasuh mengenai nutrisi yang tepat dan makanan sehat.
• Ketimpangan dalam akses terhadap layanan kesehatan bagi beberapa kelompok penduduk, karena keterbatasanekonomi atau ketersediaan layanan, terutama di daerah pedesaan, serta kekurangan tenaga profesional yang terlatih.
• Kurangnya perhatian terhadap lingkungan pembelajaran di rumah dan peran ayah. Kedua faktor ini memiliki dampak vital pada pengembangan anak usia dini.
• Kurangnya kapasitas dalam sektor pengembangan anak usia dini. Diperlukan pelatihan, pengembangan, dan pengakuan bagi para tenaga kerja pengembangan anak usia dini, seperti tenaga kesehatan, guru, dan pekerja sosial, untuk meningkatkan kualitas layanan dan dukungan yang dapat mereka berikan kepada keluarga.
• Kurangnya data dan penelitian tingkat nasional yang dapat diandalkan untuk mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti. Perlu dukungan dan pengakuan terhadap penelitian dan pengumpulan data untuk lebih memahami kebutuhan masyarakat dan program-program yang efektif, guna membuat kebijakan dan keputusan yang lebih baik.
• Kurangnya koordinasi antara para pemangku kepentingan. Diperlukan koordinasi antara para pembuat kebijakan, LSM, pendana, penyedia layanan, dan anggota masyarakat untuk meningkatkan implementasi kebijakan dan inisiatif dalam bidang pengembangan anak usia dini.
Studi ini dilakukan selama satu tahun pada 2022 dan menguji total 276 program dan 145 kebijakan nasional dan sub-nasional terkait pengembangan anak usia dinidi keempat negara. Selain itu, CEI juga melakukan wawancara dengan 52 pemangku kepentingan dari pemerintah, akademisi, organisasi non-pemerintah, dan organisasi filantropi.
Studi ini merupakan hasil kolaborasi regional yang dipimpin oleh APC bekerja sama dengan CEI dan Centre for Holistic Initiatives for Learning and Development (CHILD), serta didukung oleh 11 anggota APC dan organisasi filantropi di seluruh wilayah, termasuk TanotoFoundation, Ayala Foundation (Filipina), Yayasan Bakti Barito (Indonesia), Djarum Foundation (Indonesia), Knowledge Channel Foundation (Filipina), IshK Tolaram Foundation (Indonesia), Li Foundation (Singapura), Nomura (Singapura), Quantedge Advancement Initiative (Singapura), Ramon Aboitiz Foundation (Filipina), dan Zuellig Family Foundation (Filipina).