REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Masyarakat dihebohkan dengan merebaknya penyakit antraks di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kemenkes menyebut kemunculan antraks disebabkan adanya warga yang menyembelih dan mengonsumsi daging sapi yang telah mati karena penyakit.
Menanggapi hal tersebut, pakar mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM), Agnesia Endang Tri Hastuti Wahyuni, mengungkapkan bahaya menyembelih hewan yang mati karena sakit lantaran memunculkan bakteri yang memicu penyebaran penyakit.
"Kalau disembelih itu kesalahan fatal karena bakteri sebagian besar ada di darah," kata Agnesia dalam keterangannya, Jumat (7/7/2023).
Agnesia menjelaskan ketika darah keluar dan berinteraksi dengan udara, maka akan membentuk spora berbahaya. Ia menambahkan, kasus antraks telah masuk ke Indonesia sejak tahun 1884, dan wilayah yang terserang antraks semakin lama semakin banyak dan meluas.
Salah satu penyebab hal ini, menurutnya, adalah karena antraks memang merupakan penyakit yang tidak mudah dimusnahkan. Spora yang dihasilkan oleh bakteri antraks, terang Wahyuni, sulit hilang dan bisa bertahan di tanah hingga puluhan tahun.
Menurutnya penyakit antraks yang menyerang hewan masih bisa ditangani dengan terapi pengobatan. Dengan penanganan yang cepat dan tepat, hewan yang terjangkit bisa tetap hidup dan sembuh dari penyakit tersebut.
"Bisa diobati karena bakteri masih sensitif dengan antibiotik. Untuk pencegahan ada vaksinasi yang perlu diulang setiap enam bulan," ucapnya.
Antraks yang menyerang manusia sendiri bisa dibagi ke dalam empat jenis, yaitu antraks kulit, antraks saluran pencernaan, antraks saluran pernafasan, serta antraks injeksi. Epidemiolog UGM, Citra Indriani, mengatakan kasus antraks yang paling banyak ditemukan di Yogyakarta adalah antraks kulit, sedangkan kasus antraks saluran pernapasan dan antraks injeksi hingga kini belum pernah ditemukan di Indonesia.
“Antraks kulit bisa muncul ketika seseorang menyembelih hewan yang terinfeksi, lalu darah yang keluar kontak dengan kulit yang terdapat luka. Gejala awalnya adalah gatal lalu berkembang cepat menjadi luka antraks dan pembengkakan," ujar Citra.
Citra mengatakan pengendalian antraks perlu dilakukan terus menerus, baik dari segi lingkungan maupun hewannya sehingga penyebarannya ke manusia bisa dicegah. Ia menyarankan agar masyarakat datang ke fasilitas kesehatan karena dokter jika memiliki gejala pascakontak dengan hewan sakit atau menyembelih.
Hal senada juga disampaikan dosen Fakultas Peternakan UGM, Nanung Danar Dono. Nanung menegaskan pentingnya pemahaman, kesadaran, serta upaya bersama dalam penanganan antraks agar tidak lagi menimbulkan korban. Dia mengatakan, kebiasaan memotong dan membagi-bagikan daging hewan yang mati karena sakit merupakan salah satu kebiasaan yang berbahaya sehingga harus dihentikan.
"Cukup sudah jangan sampai ada kasus lagi, karena sekarang hampir semua provinsi di Indonesia sudah kena. Sebagaimana saat Covid-19 mari bersama-sama kita lawan, masyarakat saling mengingatkan," ucapnya.