Anies Baswedan berkisah mengenai pertemuannya dengan Imam Masjid Nabawi Syekh Dr Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qasim. Ia bertemu di Madinah di sela kegiatan ibadah haji. Pada awal Anies menjadi gubernur DKI, ia juga bertemu dengan Imam Masjid Nabawi Syekh Sholah Al-Budair di sela kegiatan Anies berumrah. Pada 2017 itu, di Makkah, Anies juga bertemu dengan Imam Masjidil Haram Syekh Abdurrahman As-Sudais.
Imam Masjid Nabawi menurut Anies, memuji jamaah haji Indonesia yang khusyuk, sabar, dan kompak selama menjalani rangkaian ibadah haji. Mereka juga berbicara mengenai halaqah Quran di Nabawi yang bisa diikuti secara daring sehingga manfaatnya dirasakan oleh jutaan Muslim di dunia, termasuk Indonesia.
Saya jadi teringat pengalaman “berburu” imam Masjidil Haram pada 2010. Semula yang saya incar adalah Syekh Abdurrahman As-Sudais, tetapi yang ada Syekh Dr Maher bin Hamad Al Mu'aiqly. Ketika rencana "perburuan" ini saya sampaikan di Media Center haji (MCH), teman-teman MCH menyambutnya. Maka, selaku ketua Seksi Pelayanan dan MCH Daker Makkah, saya pun meminta Kepala Daker Cepi Supriyatna dan Sekretaris Daker M Khanif agarwawancara dengan imam masjid dua Tanah Suci dimasukkan agenda. Permintaan ini lalu diteruskan ke ketua PPIH di Jeddah.
Tapi rupanya, sudah dua minggu surat dikirim ke pihak Arab, belum ada respons juga. Ketika pembina MCH, Ikhwanul Kiram Masyhuri tiba di Makkah, saya pun lontarkan hal ini. Kata dia, berhadapan dengan orang Arab tak bisa hanya dengan surat, harus bicara langsung. Maka, saya bujuk dia agar melakukan lobi dengan bicara langsung untuk menindaklanjuti surat yang sudah dikirim oleh PPIH.
Ia lalu menyambangi temannya sewaktu kuliah di Al-Azhar Mesir, yang bekerja di Kementerian Penerangan Arab. Temannya menginformasikan akan ada acara penyerahan kiswah dan kunci Ka’bah, tapi tak ada undangan bagi PPIH. Maka saya bujuk lagi agar MCH bisa mendapat undangan. Kiram kembali meminta bantuan temannya itu dan MCH mendapatkan undangan, tapi jumlahnya hanya lima. Tim MCH Makkah yang sembilan orang tak bisa ikut semua.
Ketika sedang membicarakan ini di MCH, Kiram memberi tahu jika salah satu pembina MCH, Henry Subiakto (staf ahli Menkominfo), juga ingin ikut. Alhasil, hanya tiga peliput yang bisa ikut, karena yang dua undangan lagi untuk pembina MCH. Sebenarnya kami tidak menginginkan Henry Subiakto ikut, karena sejak awal dia bertemu kami, pembawannya sudah tidak kami senangi. Pembina MCH lainnya, Radjab Ritonga, (direktur LKBN Antara) rela tidak ikut hadir.
Agar teman-teman yang tak bisa ikut bisa mendapatkan wawancaranya, baik video, audio, maupun foto, maka yang dipilih untuk berangkat adalah yang bisa menyediakan tiga kebutuhan itu. Maka, selain saya, berangkatlah wartawan televisi Nurendro Sukmono dari TV-One, wartawan foto Saptono dari Biro Foto Antara.
Acara penyerahan kiswah dan kunci Ka’bah pada Ahad malam, 7 November 2010, bertepatan dengan 1 Dzulhijah 1431 ini menjadi harapan saya untuk bisa bertemu imam Masjidil Haram. Setiap 9 Dzulhijah, saat jamaah haji bergerak ke Arafah, Ka’bah dicuci lalu dibari kiswah baru.
Acara serah terima kiswah setiap tahunnya selalu dihadiri oleh imam Masjidil Haram. Tapi malam itu tak terlihat Syekh Abdurrahman Sudais. Yang ada: Kepala Urusan Masjid Dua Kota Suci Syekh Shaleh Abdurrahman Al-Hussaini; Dr Saleh Al-Saiby, anak tertua Kepala Penjaga (pemegang kunci) Ka’bah Abdul Azis Al-Saiby yang meninggal dunia pada pagi harinya; dan Imam Masjidil Haram Syekh Dr bin Hamad Al Mu'aiqly yang memulai kariernya di Masjidil Haram sebagai imam shalat Tarawih pada 2007.
Selama acara, dalam hati menimang-nimang tokoh yang akan diincar untuk diwawancara. Kepala urusan masjid, penjaga Ka’bah, atau imam masjid. Dua yang pertama tentu bisa menjelaskan seluk-beluk daleman Ka’bah. Tapi, imam masjid tentu juga bisa bercerita mengenai daleman Ka’bah, sehingga yang kami incar adalah Syekh .
Saat memberikan sambutan, Syekh Shaleh Abdurrahman Al-Hussaini menyinggung Indonesia Karen tahu ada tamu dari Indonesia yang hadir di acara penyerahan kiswah Ka’bah itu. “Di depan Ka’bah, semua manusia adalah sama. Tak hanya dari Arab, tapi juga dari negara lain, termasuk dari Indonesia," ujar Syekh Shaleh Abdurrahman Al-Hussaini.
Begitu acara selesai, Kiram yang saya minta bantuan untuk membujuk Syakeh , mulai mendekati Syekh . Di kantor, pada 2010 Kiram adalah bos saya, yang biasa memerintah saya. tapi selama berburu imam Masjidil Haram, giliran ia saya “suruh-suruh”. Saya suruh melobi sekaligus saya suruh menjadi penerjemah,
Tapi rupanya, Syekh Maher masih berurusan dengan media Arab. Kiram yang mendengar pembicaraan mereka memberi tahu bahwa media Arab itu mengajukan kesempatan untuk wawancara, tetapi Syekh Maher menolaknya.
Tapi, Kiram tetap mendekati Syekh Maher, mengenalkan diri dari Indonesia, dan meminta waktu untuk wawancara. Mendengar Indonesia, membuat Syekh Maher bersedia diwawancara. Saya mengambil posisi duduk di sebelah kanan Syekh Maher. Kiram di sisi kirinya. Di sisi kiri Kiram duduk Henry. Saptono dan Nurendro mengambil posisi di depan Syekh Maher untuk mengambil, dengan rencana mengambil foto dan video.
Tapi Syekh Maher keberatan ada perekaman. Hanya boleh dicatat. Padahal dalam rencana kami, rekaman itu bisa dimanfaatkan oleh teman-teman lain di MCH, baik yang di Makkah, maupun di Madinah dan Jeddah.
Selesai kami wawancara Syekh Maher, wartawan Arab yang ditolak Syekh Maher kemudian memawancarai Kiram, meminta tanggapan dari sudut pandang Indonesia mengenai layanan haji yang diberikan oleh pemerintah Arab. Dalam wawancara kami, Syekh Maher menyinggung jamaah haji Indonesia yang disiplin, sehingga membantu kelancaran pelaksanaan ibadah haji. Ia juga menyamaikan harapannya agar jamaah haji Indonesia memanfaatkan Masjidil Haram semaksimal mungkin sebagai tempat berdoa. “Karena ini tempat mustajab,” kata Syekh Maher.
Menurut Sykeh Maher, bisa melaksanakan ibadah haji merupakan kenikmatan dan rahmat bagi Muslim. "Ini perlu disyukuri, agar keberadaannya di Makkah digunakan untuk mentauhidkan Allah," ujar dia yang menyatakan, sebagai imam Masjidil Haram, selalu mendoakan Muslim di dunia, termasuk Muslim Indonesia.
Selama wawancara, kami mengajukan pertanyaan dalam bahasa Indonesia, lalu diterjemahkan oleh Kiram. Insiden kecil terjadi, ketika tiba-tiba Henry Subiakto ikut mengajukan pertanyaan. Pertanyaannya: Bagaimana perasaan Anda memimpin shalat empat juta jamaah. Kami tentu jengah dengan pertanyaan ini. Kiram juga terlihat malas menerjemahkan. Selesai menerjemahkan pertanyaan itu, Kiram bangkit dari kursinya, sehinggal Henry tidak bisa mengajukan pertanyaan lagi karena tidak ada yang menerjemahkan pertanyaannya. Syekh Maher pun tidak menjawab pertanyaan Henry soal perasaannya bisa mengimami empat juta jamaah.
Priyantono Oemar