REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mengungkap sejumlah masalah yang berpotensi terjadi dalam gelaran Pemilu 2024. Setidaknya terdapat tiga aspek potensi masalah.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengatakan, aspek pertama adalah penyelenggara pemilu. Pada aspek ini, diakuinya potensi masalah itu salah satunya adalah belum optimalnya sinergi antara Peraturan KPU (PKPU) dan Peraturan Bawaslu.
Masalah lain pada aspek pertama ini lebih banyak terkait kerja-kerja KPU. Beberapa di antaranya adalah masalah pemutakhiran data pemilih, pengadaan dan distribusi logistik pemilu seperti surat suara, serta beban kerja penyelenggara pemilu yang terlalu tinggi.
"Data pemilih ini banyak sekali masalah, sampai-sampai satu keluarga beda TPS (tempat pemungutan suara) saja bisa sampai marah-marah. Begitu juga surat suara, itu banyak permasalahannya, misalnya, kekurangan surat suara dari TPS A ke TPS B itu juga bisa menimbulkan masalah," kata Bagja dalam rapat koordinasi kementerian dan lembaga negara yang diselenggarakan Kantor Staf Presiden (KSP) bertemakan Potensi dan Situasi Mutakhir Kerawanan Pemilu Serta Strategi Nasional Penanggulangannya di Jakarta, Kamis (13/7/2023).
Aspek kedua, kata dia, dari sisu peserta pemilu. Bagja memperkirakan akan marak praktik politik uang dalam gelaran Pemilu 2024. "Kemudian belum optimalnya transparansi pelaporan dana kampanye, netralitas ASN, dan penggunaan APK (alat peraga kampanye) yang tidak tertib," ujarnya.
Aspek ketiga terkait pemilih. Bagja berkaca dari pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya di mana banyak pemilih tak bisa menggunakan hak pilihnya, serta banyaknya pemilih yang terlibat penyebaran kabar hoaks dan ujaran kebencian.
"Ini nanti kalau sudah penetapan calon presiden dan wakil presiden kemungkinan hoaks dan 'hate speech' akan ramai kembali. Kita perlu melakukan antisipasi," kata pria peraih gelar master ilmu hukum dari Universitas Utrecht, Belanda itu.
Atas sejumlah permasalahan itu, Bagja mengklaim pihaknya telah melakukan sejumlah upaya pencegahan dengan berbagai bentuk dan strategi. Upaya pencegahan itu melibatkan sejumlah instansi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan masyarakat luas.
"Kami melakukan identifikasi kerawanan seperti membuat indeks kerawanan pemilu (IKP), melakukan program pendidikan politik dan memperluas pengawasan partisipatif," kata Bagja.
Kendati ada banyak potensi masalah Pemilu 2024, Bagja meyakini gelaran Pilkada Serentak 2024 akan lebih banyak masalah besar. Sebab, tahapan Pilkada Serentak beririsan dengan gelaran Pemilu 2024.
Untuk diketahui, Pilkada Serentak digelar pada 27 November 2024, sedangkan Pemilu digelar pada 14 Februari 2023. Pilkada serentak digelar untuk memilih kepala daerah bagi 37 provinsi dan 514 kabupaten/kota di Indonesia.
"Kami khawatir sebenarnya Pilkada 2024 ini karena pemungutan suara pada November 2024 yang mana Oktober baru pelantikan presiden baru. Tentu dengan menteri dan pejabat yang mungkin berganti," kata Bagja.
Selain itu, ada potensi gangguan keamanan yang tinggi dalam gelaran Pilkada Serentak 2024. Sebab, aparat keamanan tidak bisa diperbantukan ke daerah yang sedang mengalami gangguan keamanan, karena aparat fokus menjaga daerah masing-masing yang juga sedang menggelar pilkada.
"Kalau sebelumnya, misalnya pilkada di Makassar ada gangguan keamanan, maka bisa ada pengerahan dari polres di sekitarnya atau polisi dari provinsi lain. Kalau Pilkada 2024 tentu sulit karena setiap daerah siaga yang menggelar pemilihan serupa," ujarnya.
Potensi gangguan keamanan saat pergantian tampuk kepemimpinan pemerintahan pusat ini lah yang membuat Bagja mengusulkan agar opsi penundaan Pilkada Serentak 2024 untuk dibahas. "Karena itu, kami mengusulkan sebaiknya membahas opsi penundaan pemilihan (pilkada), karena ini pertama kali serentak," kata Bagja.