Kamis 13 Jul 2023 15:25 WIB

Aborsi di UU Kesehatan Baru, Kekecewaan Para Guru Besar, dan Tudingan Kemenkes

Kemenkes tuding petisi penolakan RUU Kesehatan oleh Forum Guru Besar dipicu hoax.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Erik Purnama Putra
Menkes Budi Gunadi Sadikin menyampaikan pandangan RUU Kesehatan saat Rapat Paripurna ke-29 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7/2023).
Foto: Republika/Prayogi
Menkes Budi Gunadi Sadikin menyampaikan pandangan RUU Kesehatan saat Rapat Paripurna ke-29 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR dan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) baru saja melakukan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi UU Kesehatan dalam rapat paripurna ke-29 kompleks Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (11/7/2023). Salah satu yang menjadi pokok dan pergunjingan isi dalam aturan baru itu ialah aborsi.

Berdasarkan salinan rancangan UU terakhir yang diterima awak media dari DPR, diatur setiap orang dilarang melakukan aborsi. Namun demikian, ada pengecualian bagi beberapa pihak yang memiliki ketentuan khusus.

Dalam Pasal 60 ayat dua (2) disebutkan jika aborsi hanya boleh dilakukan oleh (a) tenaga medis dan dibantu tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan; (b) di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat dan ditetapkan oleh Menteri serta (c) dengan persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan dan dengan persetujuan suami, kecuali korban perkosaan.

Baca: Batal Mogok Kerja Nasional, IDI: Opsi Itu tidak Jadi Kita Ambil

Dalam Pasal 61, pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat diminta bertanggung jawab melindungi dan mencegah perempuan melakukan aborsi tidak aman. Utamanya, yang bertentangan dengan perundang-undangan. Khusus untuk pidana yang melanggar Pasal 60, diatur dalam Pasal 427 dengan ancaman paling lama empat tahun.

Di Pasal 428, setiap tindakan orang yang melakukan aborsi tidak sesuai ketentuan akan dipidana dengan ketentuan, (a) dengan persetujuan perempuan tersebut dipidana paling lama lima tahun; (b) tanpa persetujuan perempuan tersebut dipidana 12 tahun. Di ayat dua Pasal 428, jika perbuatan itu mengakibatkan kematian perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat a, dipidana delapan tahun.

Namun demikian, hukuman tak diatur bagi tenaga medis atau tenaga kesehatan di pasal 429 ayat (3). "Tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan aborsi karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 tidak dipidana," demikian bunyi pasalnya.

Dalam salinan UU tersebut, memang tidak disebutkan terminologi waktu aborsi seperti dikeluhkan Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) di konferensi pers daring beberapa waktu lalu. Perwakilan FGBLP Prof Laila Nuranna Soedirman mengatakan, berbagai aturan dalam RUU Kesehatan malah bisa memantik destabilitas sistem kesehatan serta menganggu ketahanan kesehatan bangsa.

Menurut dia, sejumlah pasal dalam RUU Kesehatan malah tidak kondusif dan menunjukkan ketidakberpihakan pada ketahanan kesehatan bangsa yang adekuat. "Di antaranya, (a) hilangnya pasal terkait mandatory spending yang tidak sesuai amanah Abuja Declaration WHO dan TAP MPR RI X/MPR/2001, (b) munculnya pasal-pasal terkait multibar bagi organisasi kesehatan," kata Laila dalam konferensi pers daring di Jakarta, Senin (10/7/2023).

Tak sampai di sana, faktor ketiga dalam pokok itu juga bisa memudahkan dokter asing masuk ke negara ini tanpa menguntungkan mayoritas masyarakat Indonesia yang masih memerangi kemiskinan. "Kemudian (d) implementasi proyek bioteknologi medis yang mengakibatkan konsekuensi serius pada biosekuritas bangsa. Dan (e) kontroversi terminologi waktu aborsi," jelas Laila.

Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril mengatakan, pihaknya kecewa atas petisi penolakan RUU Kesehatan oleh Forum Guru Besar Lintas Profesi. Menurut dia, sikap beberapa Guru Besar Ilmu Kedokteran dari universitas ternama itu amat disesalkan.

Dia menilai, para guru besar tersebut terprovokasi atas fakta sesat yang dihembuskan pihak tertentu. "Kami menyesalkan para guru besar tersebut tidak membaca dan tidak tabayun mencari fakta sebenarnya terkait RUU Kesehatan," kata Syahril dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Selasa (11/7/2023).

Dia menuding, penolakan yang berujung petisi kepada Presiden Joko Widodo itu hanya didasarkan hoaks yang beredar di WhatsApp Group (WAG) serta provokasi dari pihak tertentu. Ihwal demikian, kata Syahril, RUU Kesehatan yang hendak disahkan, justru akan membuat masyarakat lebih mudah mengakses dokter dan mendapatkan pengobatan serta layanan kesehatan yang murah.

Syahril membantah salah satu isu yang dihembuskan dalam petisi para Guru Besar soal terminologi dan waktu aborsi. Menurut dia, masalah aborsi sudah diatur dalam UU KUHP yang baru, dan RUU Kesehatan hanya mengikuti apa yang sudah ada di UU KUHP agar tidak bertentangan.

"Padahal masalah aborsi sudah diatur dalam UU KUHP yang baru, dan RUU Kesehatan hanya mengikuti apa yang sudah ada di UU KUHP agar tidak bertentangan. Isu lain yang salah kaprah terkait kebijakan genomik," kata Syahril.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement