REPUBLIKA.CO.ID,KUALA LUMPUR -- Menjelang pemilihan enam negara bagian mendatang, Departemen Agama Selangor menemukan bahwa pengurus masjid dan surau masih menganggap enteng larangan politik di tempat ibadah. Padahal Departemen Agama melarang tegas masjid dan surau dijadikan sebagai tempat berpolitik.
Direktur Departemen Agama Islam Selangor (JAIS) Mohd Shahzihan Ahmad mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Kamis (13/7/2023), bahwa kegiatan pemantauan departemen menemukan bahwa publikasi politik masih diizinkan untuk didistribusikan di masjid dan surau sementara tokoh politik diizinkan menggunakan tempat-tempat ibadah tersebut untuk kepentingan politik.
“Ini adalah tindakan yang jelas melanggar keputusan MAIS (Majelis Agama Islam Selangor) untuk menjaga masjid dan surau sebagai zona aman dan bebas dari unsur dan pengaruh politik partai apa pun,” kata Shahzihan dilansir dari Channel News Asia pada Sabtu (15/7/2023).
Selangor, bersama dengan Kelantan, Terengganu, Kedah, Penang, dan Negeri Sembilan akan mengadakan pemungutan suara secara bersamaan pada 12 Agustus. Sementara itu, Shahzihan juga mengingatkan pengurus masjid dan surau untuk menegakkan larangan yang ditetapkan oleh MAIS agar tempat ibadah “tidak digunakan sebagai arena politik dan pusat propaganda politik partai”.
“Sejak 2018, sultan Selangor memerintahkan agar masjid dan surau menjadi tempat ibadah yang damai dan sejahtera serta tidak dipolitisasi,” ujar Shahzihan.
Shahzihan menambahkan bahwa penguasa negara telah mengingatkan tentang masalah ini pada 2 Maret dan 13 Maret tahun ini selama upacara penyerahan sertifikat kepada para pemimpin dan imam masjid di seluruh negara bagian serta kepada politisi selama upacara pembukaan Negara Bagian Selangor.
Dia memperingatkan bahwa mereka yang tidak mematuhi perintah penguasa Selangor atau instruksi MAIS dapat dikenakan tindakan berdasarkan Bagian 12 (a) atau (b) Undang-Undang Tindak Pidana Syariah (Selangor) 1995. Penunjukan pengurus masjid juga dapat dibatalkan oleh MAIS.
Selain Selangor, negara bagian lain yang melarang atau membatasi aktivitas politik di masjid dan surau antara lain Johor, Terengganu, dan Perak.
Menurut New Straits Times, direktur Departemen Agama Islam Perak Harith Fadzilah Abdul Halim mengatakan bahwa di antara mereka yang dilarang mengajar dan berceramah di masjid dan surau termasuk anggota parlemen, anggota dewan negara dan individu yang memegang jabatan di partai politik mana pun.
Pada 5 April, Raja Malaysia Al-Sultan Abdullah Ri'ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah mendesak umat Islam untuk melakukan bagian mereka untuk menjaga masjid agar tidak berubah menjadi arena politik.
“Saya akan selalu mengingatkan (semua orang, terutama yang di Pahang, bahwa masjid tidak boleh dicampur dengan unsur politik sama sekali,” kata raja yang juga penguasa negara Pahang itu.
“Kami tidak ingin institusi masjid menjadi tempat kami terpecah belah,” kata Al-Sultan Abdullah.
Sumber: