Senin 17 Jul 2023 11:56 WIB

Jerman Tegaskan tak Ada Negosiasi dengan Vladimir Putin dalam Waktu Dekat

Konflik bisa diakhiri jika Ukraina merebut kembali wilayah yang dikuasai Rusia.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nidia Zuraya
Dua rudal Rusia menghantam sebuah restoran di Kota Kramatorsk, Ukraina timur pada 27 Juni 2023.
Foto: AP
Dua rudal Rusia menghantam sebuah restoran di Kota Kramatorsk, Ukraina timur pada 27 Juni 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN – Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock menolak kemungkinan negosiasi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk mengakhiri konflik di Ukraina. Dia menyebut, negosiasi semacam itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat.

“Saya berharap kita bisa bernegosiasi. Tapi saat ini bukan (tentang) apa yang Anda inginkan, tapi saat ini tentang menghadapi kenyataan,” kata Baerbock, dilaporkan Deutsche Welle, Ahad (16/7/2023).

Baca Juga

Baerbock mengeklaim sebelum perang di Ukraina pecah, ada banyak upaya untuk bernegosiasi dengan Putin. “Responsnya adalah 100 ribu tentara masuk,” ucap diplomat berusia 42 tahun tersebut.

Dia menekankan, kunci untuk mengakhiri konflik adalah Ukraina memenangkan kembali tanah dan perdamaian. “Ini hanya akan berhasil jika perang agresi Rusia yang brutal ini dihentikan, jika tentara Rusia meninggalkan Ukraina, dan serangan setiap malam oleh drone, rudal, bom di Ukraina ini berhenti,” ujar Baerbock.

Dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi pemerintah Rusia pada Ahad lalu, Vladimir Putin mengatakan, negaranya memiliki persediaan bom tandan yang cukup. Dia menyatakan siap mengerahkan persediaan tersebut jika Ukraina menggunakan bom tandan untuk menyerang Rusia.

"Tentu saja, jika mereka (bom tandan) digunakan untuk melawan kami, kami berhak untuk mengambil tindakan timbal balik," kata Putin.

Ukraina diketahui telah menerima bantuan bom tandan dari Amerika Serikat (AS). Langkah Washington tersebut memperoleh sorotan internasional, termasuk dari beberapa negara sekutunya. Bom tandan diketahui dilarang di lebih dari 100 negara.

Presiden AS Joe Biden telah menyampaikan, keputusan untuk mengirim bom tandan merupakan keputusan sulit. Namun AS memilih melakukannya karena pasukan Ukraina disebut mulai kehabisan amunisi.

Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jake Sullivan mengatakan, Ukraina telah memberikan jaminan tertulis bahwa mereka akan menggunakan bom tandan dengan sangat hati-hati guna meminimalkan risiko bagi warga sipil.

Bom tandan adalah bom yang terbuka di udara dan melepaskan bom berukuran lebih kecil (bomblets) di area yang luas. Bom tersebut dirancang untuk menghancurkan tank, peralatan militer, pasukan, dan melibas banyak sasaran pada saat bersamaan. Bom tandan diluncurkan dengan senjata artileri yang sama yang telah disediakan AS dan sekutunya ke Ukraina untuk perang seperti howitzer.

AS terakhir menggunakan bom tandan di Irak pada 2003. Mereka memutuskan tidak terus menggunakannya karena konflik bergeser ke lingkungan perkotaan dengan populasi sipil yang lebih padat.

Penggunaan bom tandan tidak melanggar hukum internasional. Namun jika ia dikerahkan terhadap warga sipil, tindakan itu bisa menjadi pelanggaran.

The Convention on Cluster Munition adalah traktat internasional yang melarang penggunaan bom tandan. Konvensi itu telah diikuti lebih dari 120 negara.

Para pihak setuju untuk tidak menggunakan, memproduksi, mentransfer atau menimbun senjata tersebut dan memusnahkannya setelah digunakan. AS, Rusia, dan Ukraina belum menandatangani perjanjian tersebut.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement