REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Departemen Luar Negeri AS pada Kamis (27/7/2023) memerintahkan personel pemerintah non-darurat dan anggota keluarga untuk meninggalkan Haiti secepat mungkin. Langkah ini diambil dengan alasan penculikan, kejahatan, kerusuhan sipil, dan infrastruktur perawatan kesehatan yang buruk di Haiti
"Penculikan tersebar luas, dan korban biasanya termasuk warga AS. Penculik dapat menggunakan perencanaan canggih atau memanfaatkan peluang yang tidak direncanakan, dan bahkan konvoi telah diserang," kata Departemen Luar Negeri AS dalam peringatan perjalanan.
Departemen Luar Negeri mengatakan, warga AS yang tidak bekerja untuk pemerintah juga harus meninggalkan Haiti secepat mungkin melalui pilihan transportasi komersial atau swasta lainnya. Haiti telah berjuang untuk menahan kekerasan dan kekacauan ketika geng-geng bersenjata mendorong krisis kemanusiaan, sehingga menyebabkan puluhan ribu orang mengungsi.
Penculikan marak terjadi di Haiti untuk meminta uang tebusan. Pemerkosaan geng, penyiksaan dan pembunuhan juga kerap terjadi di negara tersebut.
Haiti belum memilih pemimpin baru sejak Presiden Jovenel Moïse dibunuh pada 7 Juli 2021. Sejak pembunuhan Presiden Moïse, geng-geng Haiti menjadi semakin kuat dan kejam. Pada Desember, PBB memperkirakan bahwa geng menguasai 60 persen ibu kota Haiti tetapi kebanyakan orang di jalan-jalan di Port-au-Prince mengatakan bahwa jumlahnya mendekati 100 persen.
Utusan khusus PBB untuk Haiti Maria Isabel Salvador, pada 26 April mendesak pengerahan pasukan internasional khusus untuk melawan kekerasan geng yang meningkat di Haiti. Dia memperingatkan bahwa penundaan dapat menyebabkan meluasnya ketidakamanan di Karibia dan Amerika Latin.
Salvador mengatakan kepada dewan bahwa kekerasan geng di negara termiskin di Belahan Barat berkembang pada tingkat yang mengkhawatirkan di daerah yang sebelumnya dianggap aman di dalam dan di luar ibu kota, Port-au-Prince. Dia mengutip angka polisi dan PBB untuk mengilustrasikan peningkatan kriminalitas yang mengejutkan di Haiti. Insiden kriminal yang terdiri dari pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, dan hukuman mati tanpa pengadilan, naik lebih dari dua kali lipat menjadi 1.647 pada kuartal pertama 2023, dibandingkan 2022 dengan jumlah mencapai 692.
Salvador menekankan, tanpa memulihkan tingkat keamanan minimum, tidak mungkin untuk maju menuju pemilu. Salvador mengatakan, dia kecewa karena tidak ada negara yang menawarkan untuk memimpin pasukan sejak Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengeluarkan permohonan mendesak Oktober lalu untuk bantuan internasional atas permintaan Perdana Menteri Haiti, Ariel Henry dan Dewan Menteri negara itu.
Dalam pertemuan dewan, Amerika Serikat maupun Kanada tidak menunjukkan minat untuk memimpin pengerahan pasukan internasional ke Haiti. Komunitas internasional malah memilih untuk menjatuhkan sanksi dan mengirim peralatan militer dan sumber daya lainnya ke Haiti.
Salvador mengatakan, pasukan internasional, yang terdiri dari personel polisi, harus membantu petugas Haiti memisahkan geng dan sedikit demi sedikit memulihkan keamanan di negara tersebut. Dia ingin melihat negara-negara di Amerika Latin dan Karibia lebih terlibat dan memimpin pasukan.
"Krisis regional membutuhkan reaksi dan tindakan regional, dan rakyat Haiti tidak bisa menunggu," kata Salvador.
Salvador mengatakan, limpahan kekerasan yang meningkat sudah berdampak di negara tetangga Republik Dominika termasuk Kolombia, Ekuador dan Peru. Dia menambahkan bahwa kekerasan geng yang meningkat akan memperburuk situasi.
Pasukan Polisi Nasional Haito menghadapi serangan geng yang meningkat. Sebanyan 22 petugas dibunuh oleh geng tahun ini dan semakin banyak petugas meninggalkan jabatan mereka. Bahkan ada juga petugas yang pensiun dan mengajukan program pembebasan bersyarat kemanusiaan di Amerika Serikat. Program ini terbuka untuk warga Haiti yang mencari perlindungan karena kondisi di negara tersebut.
Salvador mengatakan, langkah tersebut telah memangkas kekuatan operasional pasukan Haiti dari 14.772 menjadi sekitar 13.200 personel. Dia mengatakan hanya sekitar 9.000 personel yang aktif melakukan tugas polisi. Sementara hanya 3.500 yang bertugas untuk keselamatan publik pada waktu tertentu di seluruh negeri. Pada saat yang sama, perekrutan petugas baru telah dihentikan karena memburuknya keamanan dan kendala logistik.