Sabtu 29 Jul 2023 06:28 WIB

Pengadilan Israel Perintahkan Penghancuran Rumah Warga Palestina untuk Pemukiman Yahudi

Pengadilan juga memerintahkan evakuasi terhadap 500 warga Palestina.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
 Pemandangan pemukiman Yahudi Tepi Barat Eli, Selasa, 14 Februari 2023. ilustrasi
Foto: AP Photo/Ariel Schalit
Pemandangan pemukiman Yahudi Tepi Barat Eli, Selasa, 14 Februari 2023. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Pengadilan Israel memerintahkan 500 warga Palestina di Ras Jrabah, sebuah desa di Negev (Naqab) untuk mengevakuasi dan menghancurkan rumah mereka sendiri. Langkah ini diambil untuk membuka jalan bagi pembangunan lingkungan baru Yahudi.

Penduduk desa Palestina berpendapat bahwa mereka telah tinggal di tanah tersebut selama beberapa generasi. Tepatnya sebelum Undang-Undang Pertanahan tahun 1970 mendaftarkan tanah dan mendirikan real estat milik negara.

Baca Juga

Kendati warga Palestina telah tinggal di wilayah itu selama puluhan tahun, Pengadilan Magistrat Beersheba menolak klaim bahwa penduduk Palestina memiliki wewenang yang sah untuk tinggal dan menggunakan tanah tersebut.

Pengadilan mengklaim bahwa bukti yang diajukan oleh keluarga Palestina di tidak cukup kuat. Pengadilan memerintahkan mereka untuk mengungsi pada Maret 2024. Hakim Israel Menachem Shahak juga memerintahkan mereka untuk membayar 117.000 shekel sebagai tuntutan hukum.

Otoritas Tanah Israel (ILA) memiliki rencana untuk memperluas Kota Dimona dengan menduduki Desa Ras Jrabah dan mengubahnya menjadi lingkungan baru yang disebut Rotem. Hakim Shahak juga menolak permintaan penduduk desa Palestina untuk diintegrasikan ke lingkungan baru. Hakim mengklaim Otoritas Pembangunan dan Permukiman Badui Israel di Negev adalah badan yang berwenang untuk membuat keputusan itu. Namun, Otoritas Pemukiman Badui Israel hanya menawarkan untuk memindahkan mereka ke Kota Qasr Al-Sir, yang dimiliki oleh keluarga Palestina lainnya.

Persetujuan pengadilan datang setelah ILA gagal  mengevakuasi desa 30 tahun lalu. Suku Badui Palestina di Negev (Naqab) telah menghadapi ancaman pemindahan paksa selama beberapa dekade. Tanah mereka dirampas dan rumah mereka diratakan oleh pasukan pendudukan Israel.

Lembaga hukum yang mewakili penduduk Palestina, Adalah, mengutuk langkah itu dan menyebutnya sebagai kejahatan apartheid. Lembaga hukum itu berpendapat bahwa menggusur penduduk desa untuk memukimkan kembali mereka di kota Badui adalah bagian dari strategi segregasi rasial.

"Sejak Nakba, negara Israel telah menggunakan berbagai alat dan kebijakan untuk secara paksa menggusur penduduk Badui di Naqab. Mata pencaharian mereka terbatas pada daerah terlarang dan kota-kota terpisah, dan mereka telah menjadi sasaran  untuk kondisi hidup yang keras, tanpa memperhatikan kebutuhan dasar dan cara hidup mereka," ujar pernyataan Adalah, dilaporkan Middle East Monitor, Jumat (28/7/2023).

Lembaga hukum Adalah mengatakan, langkah Israel ini merupakan bagian dari sistem supremasi Yahudi yang secara konstitusional diabadikan dalam Hukum Negara-Bangsa Yahudi. Mereka memprioritaskan 'penyelesaian Yahudi' sebagai nilai yang harus dipromosikan oleh semua badan negara.

Sistem peradilan Israel dari waktu ke waktu menyetujui pemindahan warga Palestina demi ekspansi Yahudi, sehingga memajukan tujuan kolonial Israel. Pemindahan paksa penduduk Ras Jrabah untuk memperluas kota Yahudi Dimona, yang dibangun di atas tanah penduduk Palestina, menjadi bukti nyata bahwa Israel melakukan kejahatan apartheid terhadap warga Palestina.

Perlu ada intervensi internasional untuk menghentikan tindakan Israel. Pengacara dari lembaga hukum Adalah akan mengajukan banding atas keputusan hakim. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement