Sabtu 29 Jul 2023 10:26 WIB

Praktisi Hukum Militer Ungkap Kesalahan KPK dalam Penetapan Tersangka Kabasarnas

KPK telah menetapkan Kabasarnas Marsdya Henri Alfiandi sebagai tersangka.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Teguh Firmansyah
Danpuspom TNI Marsda TNI Agung Handoko berjalan menuju mobil usai mendatangi Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (28/7/2023). Puspom TNI berkoordinasi dengan KPK terkait penanganan kasus dugaan korupsi yang menjerat Kabasarnas Marsdya TNI Henri Alfian (HA) dan Korsmin Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto (ABC). KPK menyatakan khilaf dan meminta maaf karena ada kekeliruan dalam koordinasi penetapan tersangka Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Adm Afri Budi di kasus suap Basarnas.
Foto: Republika/Prayogi
Danpuspom TNI Marsda TNI Agung Handoko berjalan menuju mobil usai mendatangi Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (28/7/2023). Puspom TNI berkoordinasi dengan KPK terkait penanganan kasus dugaan korupsi yang menjerat Kabasarnas Marsdya TNI Henri Alfian (HA) dan Korsmin Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto (ABC). KPK menyatakan khilaf dan meminta maaf karena ada kekeliruan dalam koordinasi penetapan tersangka Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Adm Afri Budi di kasus suap Basarnas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktisi Hukum Militer Mayor CHK Purn Marwan Iswandi menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa menindak dua anggota TNI yang diduga menerima suap di proyek Basarnas.

Menurutnya berdasarkan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 Tentang Peradilan Militer yang bisa menindak anggota TNI ketika terlibat kasus pidana adalah atas yang berhak menghukum (Ankum), Polisi Militer, dan Oditur Militer 

Baca Juga

"Berdasarkan pasal tersebut di atas sudah jelas kalau penyidik KPK tidak berhak melakukan penyidikan apalagi mentersangkakan seorang prajurit TNI," kata Marwan Iswandi saat dihubungi Republika, Jumat (28/7/2023).

Marwan Iswandi yang juga mantan Oditur Militer dan pengacara ini berpendapat, seharusnya KPK, ketika menemukan ada prajurit TNI tertangkap tangan langsung di serahkan ke Ankum atau perwira penyerah perkara (Papera). Apa lagi dua orang anggota TNI itu tidak terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT).

"Masing-masing prajurit TNI tersebut bukan tertangkap tangan seharusnya KPK melakukan kordinasi terlebih dahulu ke Ankum dan Paperanya yang bersangkutan," katanya.

Marwan Iswandi mengatakan, dalam perkara yang diduga melibatkan Kabasarnas yang menurut peraturan panglima TNI nomor: perpang/ 4/ IV/2007 paperanya adalah panglima TNI. Sehingga, jangan sampai tujuan KPK melakukan penegakan hukum justru melakukan pelanggaran hukum. "Dan KPK seharusnya tahu semua ada aturan yang jelas," katanya.

Seperti diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Kepala Basarnas, Marsdya Henri Alfiandi sebagai tersangka dugaan suap pengadaan barang dan jasa. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) miliknya yang disampaikan pada 24 Maret 2023, dia tercatat punya total kekayaan sebesar Rp 10.973.754.000.

Dikutip dari laman e-LHKPN, Henri memiliki lima tanah dan bangunan dengan total nilai mencapai Rp 4.820.000.000. Seluruh aset yang merupakan hasil sendiri itu tersebar di Pekanbaru dan Kampar, Provinsi Riau.

Perwira tinggi (pati) bintang tiga TNI AU juga melaporkan kepemilikan kendaraan dengan total nilai Rp 1.045.000.000. Rinciannya, yakni mobil Nissan Grand Livina Tahun 2012, senilai Rp 60 juta.

Kemudian, mobil Honda CRV Tahun 2017 seharga Rp 275 juta; mobil Komodo atau FIN Komodo Tahun 2019 senilai Rp 60 juta; dan pesawat terbang Zenith 750 STOL Tahun 2019 seharga Rp 650 juta. Seluruh kendaraan ini dilaporkan merupakan hasil sendiri.

Alumnus Akademi Angkatan Udara (AAU) 1988 tersebut juga melaporkan kepemilikan harta bergerak lainnya sebesar Rp 452.600.000, harta lainnya Rp 600 juta, serta kas dan setara kas mencapai Rp 4.056.154.000. Henri disebutkan tidak memiliki utang.

Kasus itu berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada Selasa (25/7/2023). Saat itu, KPK menangkap Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto terjaring dalam operasi senyap tersebut. Dia juga telah ditetapkan sebagai tersangka bersama Henri.

Adapun KPK juga menetapka tiga tersangka lainnya sebagai pemberi suap, yaitu Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan (MG); Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya (MR); dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil (RA). Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengatakan, penetapan status tersangka itu dilakukan setelah pihaknya mengantongi bukti yang cukup.

Dalam kasus tersebut, Henri diduga mendapat fee 10 persen dari berbagai proyek di Basarnas sejak 2021-2023. Dia mengantongi uang suap hingga mencapai Rp 88,3 miliar.

Henri menentukan langsung besaran fee tersebut. Uang yang diserahkan disebut sebagai dana komando atau dako.

Rinciannya, Mulsunadi memerintahkan Marilya menyerahkan duit sebesar Rp 999,7 juta di parkiran salah satu bank di Cilangkap. Sedangkan dari Roni menyerahkan Rp 4,1 miliar dari aplikasi setoran bank.

“Atas penyerahan sejumlah uang tersebut, perusahaan MG, MR, dan RA dinyatakan sebagai pemenang tender,” ungkap Alex, Rabu (26/7/2023).

Uang suap itu diserahkan kepada Henri melalui orang kepercayaannya, yakni Afri. KPK dan Puspom TNI pun masih akan mendalami dugaan adanya pemberi suap lainnya.

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement