REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memaparkan hasil pengawasan terkait penerapan program percepatan penurunan stunting yang berlangsung di 26 daerah di Indonesia.
Sejak 15 Maret hingga 15 Mei 2023 KPAI melakukan pengawasan implementasi program percepatan penurunan stunting di mana tiga daerah didatangi secara langsung sementara daerah lainnya dilakukan dengan menggaet Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) setempat.
"Kita mendatangi tiga daerah yang menurut SSGI (Survei Status Gizi Indonesia) cukup tinggi (kasus stunting), ada Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Brebes, dan Kabupaten Lombok Tengah. Pengawasan kedua kita meng-share melalui Dinas Kesehatan atau tim TPPS," kata Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra dalam sebuah acara webinar pada Sabtu (29/7/2023).
Pengawasan dilakukan dengan dua metode yaitu wawancara dengan pihak pemerintah setempat hingga masyarakat umum dan pengisian kuisioner dengan melibatkan pemerintah daerah.
Adapun daerah yang menjadi peserta survei pengawasan percepatan penurunan stunting dari KPAI antara lain Barito Kuala, Boalemo, Bolaang Mongondow Selatan, Bondowoso, Brebes, Buleleng, Buton Tengah, Gunung Kidul, Halmahera Timur, Jakarta Utara Jember, dan Jembrana.
Selain itu, ada Kapuas Hulu, Kepahiang, Kulon Progo, Lombok Tengah, Ogan Ilir, Padang Lawas, Pasaman Barat, Pesawaran, Siak, Sigi, Sukabumi, Tana Tidung, Tana Toraja, Tapanuli Selatan, Timor tengah Selatan.
KPAI melakukan survei terhadap sejumlah indikator penerapan program percepatan penurunan stunting mulai dari peraturan daerah, sarana prasarana, hingga pemahaman masyarakat terkait stunting.
KPAI menemukan bahwa beberapa daerah sudah menerbitkan peraturan atau kebijakan mengenai percepatan penurunan stunting di mana kebijakan tersebut berupa peraturan Bupati.
Sebagai implementasi dari peraturan daerah yang berlaku, KPAI mencatat hampir semua daerah memiliki program inovasi terkait penurunan stunting. KPAI juga menemukan sejumlah daerah memiliki program inovasi serupa Gerimis Telur (Gerakan Minum Susu dan Makan Telur).
Setiap daerah juga telah memiliki layanan pendidikan anak usia dini yang berperan dalam menurunkan angka stunting melalui program parenting, sosialisasi kepada orang tua, dan integrasi dengan pihak-pihak lain.
Namun, di beberapa daerah pemahaman masyarakat mengenai stunting masih rendah sehingga KPAI merekomendasikan untuk menjalankan program edukasi lebih masif terutama kepada masyarakat kelas menengah ke bawah yang tingkat pendidikannya belum cukup memadai sekaligus berisiko tinggi terdampak stunting.
Selain itu setiap daerah juga masih terkendala dalam hal sarana dan prasarana seperti alat antropometri. Kendala tersebut disebabkan oleh rendahnya realisasi anggaran untuk pencegahan stunting yang juga menjadi permasalahan di sejumlah daerah.
Menanggapi kendala tersebut, KPAI merekomendasikan kepada pemerintah daerah perlunya alokasi Anggaran Pendapat dan Belanja Daerah (APBD) lebih banyak yaitu sekitar 10 persen agar realisasi percepatan penurunan stunting dapat berjalan optimal.
"Untuk pencegahan dan penurunan stunting yang lebih banyak, kita mendorong 10 persen di APBD sehingga dalam perencanaan dan realisasi betul-betul bisa maksimal di atas 50 persen, jadi program dan komitmen ini perlu direalisasikan," ujar Jasra.
Meskipun segi sarana dan prasarana belum optimal, laporan KPAI menyebutkan bahwa fasilitas pengukuran berat dan tinggi badan anak di fasilitas kesehatan masyarakat telah menggunakan alat ukur standar yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan dan proses pengukuran dilakukan mengikuti prosedur yang berlaku.
KPAI juga menemukan bahwa proses pemantauan pelayanan percepatan penurunan stunting terhadap keluarga berupa pemberian imunisasi dasar lengkap (IDL) dan makanan pendamping air susu ibu (MPASI) telah dilakukan setiap daerah.