Selasa 01 Aug 2023 11:16 WIB

Praktisi Hukum Militer Apresiasi Pengakuan Khilaf Ketua KPK dalam Kasus Basarnas

Justru pengadilan militer jauh lebih keras dan tegas dalam menghukum personel TNI.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Erik Purnama Putra
Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi (kedua kanan).
Foto: ANTARA/Asep Fathulrahman
Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi (kedua kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktisi hukum militer Mayor (Purn) Marwan Iswandi memuji pengakuan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengaku khilaf dan meminta maaf kepada Mabes TNI. Permintaan maaf ini disampaikan KPK setelah menetapkan tersangka Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Adm Afri Budi Cahyanto dalam kasus suap Basarnas tanpa koordinasi dengan TNI.

"Saya pun berterima kasih kepada pihak KPK dengan kesatria mengakui ada kekeliruan anggotanya dalam menangani perkara Basarnas ini," kata Iswandi saat dihubungi Republika.co.id di Jakarta Selasa (1/8/2023).

Baca Juga

Menurut dia, langkah yang dilakukan petinggi TNI mendatangi gedung KPK sudah benar. Hal itu untuk meluruskan dan mengklarifikasi kepada KPK bahwa anggota TNI yang bersalah memiliki aturan sendiri untuk diadili di peradilan militer. "Apa yang dilakukan KPK sudah tepat," kata Iswandi.

Dia menyampaikan, apabila rombongan Danpuspom TNI Marsda Agung Handoko tidak mendatangi KPK untuk meluruskan apa yang terjadi maka hal itu bisa menjadi celah bagi pengacara Marsdya Henri saat membela kliennya di pengadilan, bahwa penetapan tersangka tidak sah. Hal itu lantaran Marsdya Henri saat terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK masih berstatus militer aktif.

Meski begitu, Iswandi sepakat, siapa pun yang bersalah harus dihukum sesuai peraturan yang berlaku. "Karena dianggap tidak sesuai dengan prosedur yang ada," katanya.

Iswandi menerangkan, dalam menyelesaikan perkara apabila diduga ada keterlibatan personel TNI, ada dua mekanisme yang perlu ditempuh. Pertama secara koneksitas yang dimungkin menurut Pasal 198 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1997 akan sesuai dengan ayat (2) Pasal 198 yang sudah jelaskan sebelumnya.

"Penyidikan perkara pidana sebagai mana ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari polisi militer, oditur militer, dan penyidikan dalam lingkungan peradilan umum sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana," kata Iswandi.

Menurut Iswandi, tidak menjadi masalah apabila kasus korupsi di Basarnas disidang di pengadilan militer. Dia menyebut, justru pengadilan militer jauh lebih keras dan tegas dalam menghukum personel TNI yang bersalah. "Tidak ada satu pun prajurit TNI bisa bebas kalau memang terbukti di persidangan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement