Jumat 04 Aug 2023 16:04 WIB

Dokter Erlina Burhan Kaji Revolusi Pengobatan Tuberkulosis Jangka Pendek

Perlunya menemukan paduan obat antituberkulosis alternatif berdurasi lebih singkat.

Rep: Fergi Nadira B/ Red: Erik Purnama Putra
Peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sekaligus dokter spesialis paru RSUP Persahabatan Jakarta, Erlina Burhan.
Foto: Republika/Prayogi
Peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sekaligus dokter spesialis paru RSUP Persahabatan Jakarta, Erlina Burhan.

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), Dr dr Erlina Burhan, M.Sc, Sp.P(K) mengkaji revolusi pengobatan penyakit kasus tuberkulosis sensitif obat (TB-SO) dengan lebih singkat. Penanganan (TB-SO) dengan menggunakan paduan obat antituberkulosis (OAT) standar selama enam bulan, terbukti merupakan strategi efektif dalam penatalaksanaan penyakit tersebut.

Kendati begitu, menurut dokter spesialis paru RSUP Persahabatan Jakarta tersebut, masih sulit memastikan bahwa pasien taat menjalani pengobatan tersebut selama enam bulan. Padahal, hal tersebut berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan dan pencegahan terjadinya resistensi obat.  

Erlina melihat, perlunya menemukan paduan OAT alternatif berdurasi lebih singkat dengan tetap mempertahankan efektivitasnya. Menurut dia, hal itu merupakan prioritas mengingat tingginya peningkatan kasus Tuberkulosis Resisten Obat (TBC RO) yang mengancam kemajuan global dan nasional dalam eliminasi TBC tahun 2030.

Dia menjelaskan, TBC RO atau TBC kebal obat adalah keadaan seseorang terinfeksi jenis kuman atau bakteri TBC yang sama, namun sudah kebal terhadap obat TBC lini pertama. TBC RO tidak bisa diobati dengan obat TBC biasa, tetapi harus dengan kombinasi obat atau OAT lini kedua.

Kasus TBC RO terjadi karena pasien tidak teratur minum OAT sesuai dengan panduan petugas kesehatan. Selain itu, pasien menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktu yang ditentukan oleh dokter, sehingga pasien mengalami gangguan penyerapan obat.

Di Indonesia, kata Erlina, pada 2021, estimasi TBC RO mencapai 28 ribu dengan rincian 2,2 persen berasal dari kasus baru dan 25 persen dari kasus pengobatan ulang. Perkiraan insiden kasus itu sekitar 24 ribu atau 8,8 per 100 ribu penduduk.

Adapun pada 2022, sekitar 12.531 pasien TB rifampisin resistan ditemukan dan dilaporkan secara nasional, dengan 8.089 (65 persen) pasien memulai pengobatan TB lini kedua. Rendahnya angka inisiasi pengobatan TBC RO merupakan salah satu kendala utama dalam pengendalian TBC RO.

Melalui kolaborasi riset yang diketuai Nicholas Paton dari National University of Singapore, Erlina bersama tim melakukan penelitian uji klinis bernama Two-Month Regimens Using Novel Combinations to Augment Treatment Effectiveness for Drug-Sensitive Tuberculosis (TRUNCATE-TB). Hasil penelitian tersebut dipresentasikan dalam acara Apresiasi Studi Uji Klinis UI dan Tim TRUNCATE-TB di FK UI Salemba, Jakarta Pusat pada Senin (31/7/2023).

Dalam presentasinya, Erlina menyebut bahwa strategi pengobatan TRUNCATE-TB dengan menggunakan paduan OAT yang diperkuat selama dua bulan menunjukkan noninferioritas dibandingkan dengan paduan pengobatan standar. Artinya, pemberian obat kepada pasien yang semula enam bulan, dapat dipersingkat menjadi dua bulan.

Temuan tersebut membuka jalan baru untuk pengobatan TB-SO, terutama dengan penerapan penelitian operasional yang memberikan kesempatan untuk menghubungkan hasil uji klinis dan implementasi berbentuk program di dunia nyata. Presentasi tersebut turut dihadiri Dekan FK UI, Prof Ari Fahrial Syam.

"Evaluasi ini dapat memberikan wawasan berharga mengenai efektivitas, penerimaan, dan keamanan dari strategi pengobatan ini sebagai langkah pembentukan program pemerintah yang diterima secara nasional," kata Erlina dalam siaran pers kepada Republika.co.id di Jakarta pada Jumat (4/8/2023).

Selain itu, menurut dia, penelitian itu dapat membantu mengidentifikasi tantangan dan solusi potensial untuk meningkatkan ketaatan pengobatan dan memperbaiki hasil bagi pasien TB-SO. Sementara itu, terkait dengan pengendalian dan tata laksana TBC RO di Indonesia, salah satu kebijakan yang harus diterapkan adalah Tatalaksana TBC RO dengan pendekatan yang berpusat pada pasien.

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh program TBC nasional, salah satu penyebab pasien tidak memulai pengobatan TBC RO ialah karena jarak fasilitas pelayanan kesehatan pengobatan TBC RO yang jauh dari tempat tinggal pasien. Oleh karena itu, layanan pengobatan TBC RO harus lebih mudah diakses dan sedekat mungkin dengan pasien.

"Untuk menjamin keberlangsungan pengobatan TBC RO, diperlukan kerja sama antara rumah sakit dan balai kesehatan pelaksana layanan TBC RO dengan puskesmas atau fasyankes terdekat dengan tempat tinggal pasien," kata Erlina.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement