REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid mengatakan, MK kembali diuji kenegarawanan dan konsistensi melaksanakan konstitusi. Kali ini, dengan uji materi UU 7/2017 tentang Pemilu terkait usia capres-cawapres.
Ia berharap, MK konsisten menyatakan kembali itu sebagai open legal policy atau kebijakan hukum terbuka. Yang mana, menjadi wilayah DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang dan bukan ranahnya MK.
"Untuk mengembalikan kepercayaan rakyat Indonesia terhadap MK sebagai pengawal konstitusi yang independen dan jauh dari kooptasi kekuatan dan kepentingan politik jangka pendek dari pihak manapun," kata Hidayat.
Ia menekankan, prinsip kenegarawanan dan keadilan seharusnya selalu ditegakkan oleh semua hakim MK terhadap siapapun. Baik terhadap warga biasa, keluarga pimpinan negara, terhadap partai maupun non-partai.
Hidayat mengingatkan, sejak putusan 2007, MK berulang kali menolak uji materi terkait syarat usia calon pejabat negara. MK menilai batasan usia kebijakan hukum yang terbuka dan menjadi kewenangan DPR dan pemerintah.
Bahkan, pada 2021, MK menolak permohonan uji materi terkait usia calon kepala daerah yang diajukan partai yang sama menguji UU Pemilu. Dalam putusan itu, MK tegas konsisten merujuk kepada putusannya pada 2007.
"Masalah usia calon pejabat negara bukan masalah konstitusionalitas norma yang menjadi kewenangan MK," ujar Hidayat.
Ia menekankan, sikap konsistensi ini perlu ditunjukkan sebagai bentuk kenegarawanan dan penerapan prinsip keadilan. Pasalnya, ada dugaan kuat pengujian yang baru dilakukan karena ada kepentingan politik pragmatis.
Tepatnya, ingin meloloskan salah satu figur yang digadang dicalonkan sebagai cawapres yang kebetulan putra Presiden Joko Widodo yang usianya belum mencapai 40 tahun. Sehingga, bisa jadi cawapres pada Pemilu 2024.
"Jangan sampai dugaan ini mendapatkan pembenaran dengan ketidakkonsistenan MK dalam memutus perkara ini," katanya.