Senin 07 Aug 2023 14:24 WIB

Kekerasan di Sekolah, Quo Vadis Kurikulum Merdeka?

Prematur bila langsung menghakimi kurikulum merdeka gagal dengan maraknya perundungan

Stop Bullying. Tindakan bullying di sekolah meningkat apakah karena kurikulum merdeka yang mulai diterapkan secara bertahap di banyak sekolah?
Foto: Prayogi/Republika
Stop Bullying. Tindakan bullying di sekolah meningkat apakah karena kurikulum merdeka yang mulai diterapkan secara bertahap di banyak sekolah?

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Denny Kodrat, Pengamat Pendidikan Universitas Sebelas April

Beberapa waktu lalu, seorang siswa korban perundungan (bullying) di Temanggung, Jawa Tengah membakar sekolah. Belum selesai peristiwa tersebut, di Bengkulu terjadi perundungan terhadap murid penderita autoimun. Parahnya, dilakukan oleh oknum guru. Masih di kota yang sama, guru SMA Negeri 7 Rejang Lebong, justru menjadi korban “perundungan” wali siswa. Guru tersebut mengalami luka permanen di matanya setelah diketapel orang tua siswa yang tidak terima anaknya ditegur saat merokok di sekolah.

Pertanyaan besarnya, mengapa tindakan kekerasan terjadi di sekolah baik melibatkan siswa dan guru, bahkan orang tua? Apa yang salah dengan kurikulum merdeka yang mulai diterapkan secara bertahap di banyak sekolah?

Arah Pendidikan

Pendidikan jangan dipahami hanya sekadar siswa bersekolah, mendapatkan pengajaran berbagai kompetensi mata pelajaran, lalu mendapatkan dokumen rapor dan selembar ijazah. Bila dipahami demikian, pendidikan tidak ubahnya seperti kursus.

Pendidikan selain melibatkan ranah pengetahuan, juga membentuk sikap spritual, sosial, dan keterampilan. Secara spesifik, dalam kurikulum merdeka, ranah sikap menyasar aspek jujur, disiplin, gotong royong, peduli, tanggung jawab, peduli, toleransi dan gotong royong. Sehingga seluruh lulusan, baik pendidikan formal dan non formal memiliki standardisasi kompetensi yang dicapai.

Untuk mewujudkan standar lulusan tersebut, sekolah tidak berdiri sendiri. Ia wajib dibantu  keluarga, masyarakat dan negara. Peran keluarga cukup strategis dalam mendukung arah pendidikan, khususnya pembentuk sikap siswa. Orang tua mengajarkan sopan santun, peduli, tanggung jawab, antikekerasan secara praktis dengan contoh dan keteladan (role model).

Saat siswa diajarkan bagaimana menjadi warga negara yang baik, ia melihat contoh tersebut di lingkungan keluarga. Sinergitas ini yang sekarang redup. Terlebih pilar pendidikan yang dirilis UNESCO, yaitu learning to know (belajar mengetahui), learning to do (belajar berkarya), learning to be (belajar menjadi warga negara yang baik), dan learning to live together (belajar hidup bersama) mustahil diwujudkan jika di keluarga dan masyarakat tidak memfasilitasi hal tersebut.

Karenanya, orang tua perlu mengerti saat mendaftarkan anaknya sekolah, bukan sekadar mengikuti tren atau hanya mendapatkan ijazah pendidikan formal, tetapi jauh dari itu, orang tua tengah ambil bagian dalam menciptakan warga negara yang beradab (civilized citizen). Sehingga, pendekatan yang ditempuh orang tua, saat mendapatkan anaknya mengalami perundungan, bukan menyelesaikan secara emosional, terlebih melakukan tindak pidana, melainkan menyelesaikan masalah tersebut secara beradab.

Terlebih lagi guru di sekolah. Guru harus memahami bahwa pendidikan saat ini sudah mengalami banyak perubahan. Ia berbeda dengan zaman Orde Lama atau Orde Baru. Tuntutan dan kebutuhan lokal dan global sudah sangat berubah yang mengakibatkan penyesuaian dalam kurikulum, metode pembelajaran (didaktik-metodik), sekaligus perubahan pendekatan terhadap siswa.

Guru tidak hidup di ruang hampa, yang tidak tersentuh perubahan sosial. Sebaliknya, interaksi guru-siswa di ruang kelas merupakan representasi praktik sosial yang ada di ruang publik. Dengan kata lain, sentuhan kekerasan fisik (physical violance) atau verbal dengan tujuan mendidik dan mengajar siswa, tidak dibenarkan.

Pertemuan guru-siswa di ruang kelas adalah pertemuan formal yang berlaku pula hukum formal.

Perubahan dalam dunia pendidikan inilah yang menegaskan bahwa pendidikan saat ini merupakan layanan jasa (service). Bahkan sejak 1990-an, konsep mutu terpadu (total quality management) dan sistem akreditasi sekolah diperkenalkan untuk  mengukur sejauh mana layanan jasa pendidikan ini diterapkan dan memuaskan siswa dan stakeholders (pemangku kepentingan) pendidikan.

Edward Salis mendefinisikan mutu sebagai standar pemenuhan kepuasan pelanggan (customer satisfaction). Sekolah disebut bermutu jika ia memberikan layanan yang memuaskan siswa dan orang tuanya. Siswa, orang tua, dan stakeholders pendidikan menjadi pelanggan bagi sekolah.

Dari sini jelas seharusnya tidak ada ruang untuk perundungan atau kekerasan fisik baik dilakukan oleh siswa terhadap siswa, guru terhadap siswa, atau siswa/orang tua siswa terhadap guru. Bila ini terjadi, ada yang salah dengan pengelolaan sekolah. Dinas pendidikan sewajibnya melakukan penyelidikan mendalam dan bila perlu mengganti kepala sekolah  karena ia sebagai pihak (top leader) yang bertanggung jawab dalam pelayanan pendidikan. 

Masyarakat perlu diedukasi dalam memahami pendidikan....

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement