REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Peneliti LPEM Universitas Indonesia Riyanto menyebut saat ini menjual satu unit battery electric vehicle (BEV) lebih sulit ketimbang dua unit hybrid electric vehicle (HEV). Padahal pengurangan emisi dua unit HEV disebutnya setara dengan pengurangan satu unit BEV.
"Saat ini, BEV mendapatkan insentif BBN dan PKB. Saya kira ini bisa dipertimbangkan ke hybrid karena bisa mengurangi emisi sampai 50 persen. Jadi, mobil hybrid layak mendapatkan tambahan insentif," kata Riyanto dalam diskusi Forwin bertajuk "Otomotif, Ujung Tombak Dekarbonisasi Indonesia" di Jakarta, Selasa (8/8/2023).
Menurut Riyanto, mobil hybrid lebih cocok digunakan di era transisi menuju netralitas karbon pada 2060. Sebab, harga mobil listrik masih tinggi di kisaran Rp 600 juta–Rp 700 juta yang pasarnya masih sangat kecil. Dengan anggaran Rp 200 juta–Rp 300 juta, maka besar kemungkinan konsumen akan lebih memilih mobil konvensional berkapasitas tujuh penumpang.
Sementara itu, harga mobil hybrid berkapasitas tujuh dan lima penumpang saat ini lebih mendekati harga mobil konvensional sehingga dinilai bisa diandalkan untuk mengurangi emisi di era transisi. "BEV memang bisa menurunkan emisi sesuai target pemerintah. Akan tetapi, bisakah volume penjualan BEV sesuai target pemerintah untuk mengurangi emisi?" katanya.