REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR — Saat matahari terbit, Ooy bergegas keluar rumah. Membawa ember di kedua tangannya, wanita berusia 38 tahun ini berjalan menuju sumur yang berada tak jauh dari rumahnya.
Setibanya di sumur, Ooy menghela napas. Di sumur sedalam sekitar 15 meter itu hanya ada sedikit air, bahkan nyaris nihil.
Ooy tinggal di Dusun Tiga, Desa Weninggalih, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Selama tiga pekan terakhir wilayah timur Kabupaten Bogor ini tak diguyur hujan. Sumur yang menjadi andalan warga untuk sumber air bersih pun mulai mengering.
Bahkan, sejak Mei 2023, sejumlah area persawahan sudah kesulitan pasokan air. Sebagian besar warga, termasuk Ooy, akhirnya sementara harus beralih profesi dari petani.
“Saya sekarang jualan makanan di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dekat sini. Suami saya jual buah keliling. Karena mau kerja di sawah sudah enggak bisa,” kata Ooy, saat ditemui Republika, sepulangnya dari sumur, Rabu (9/8/2023).
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor, Desa Weninggalih sudah menerima bantuan air bersih sekitar 40 ribu liter pada awal bulan ini. Saat bantuan itu datang, Ooy hanya bisa gigit jari.
Tempat tinggal Ooy berjarak sekitar tiga kilometer dari Kantor Desa Weninggalih, yang menjadi lokasi penyaluran air bersih. Akses menuju Dusun Tiga tak memadai untuk mobil tangki air.
Sekalipun datang bantuan, sebagian besar air ditampung untuk Masjid Sai Romadhon, yang berada belakang rumah Ooy. Warga sekitar tak sampai hati mengambil air di masjid untuk keperluan pribadinya, agar jamaah yang hendak beribadah tetap bisa mengambil wudhu dan aktivitas di masjid berjalan normal.
Membeli air
Mau tidak mau, Ooy harus merogoh kocek untuk membeli air bersih dari pedagang curah. Ia biasa membeli 1.000 liter air dengan harga Rp 70 ribu. Air sebanyak itu biasanya digunakan untuk kebutuhan selama lima hari.
Air hasil pembelian itu dimanfaatkan untuk kebutuhan mandi, mencuci, dan memasak, termasuk untuk kebutuhan berdagang. “Entah dari mana asalnya itu air. Pokoknya saya pesan, nanti dia (pedagang air curah) datang, diantar,” kata Ooy.
Sekitar satu kilometer dari rumah Ooy, ada rumah Muniroh. Saat ditemui, Muniroh sedang termenung di teras. Di sampingnya ada gentong berwarna biru yang tampak kosong. Gentong itu biasanya digunakan Muniroh untuk menampung air hujan. Air dari gentong itu dimanfaatkan untuk kebutuhan memasak.
Namun, selama tiga pekan terakhir hujan tak kunjung turun. Ibu dua anak itu jadinya kesulitan untuk mendapatkan air. Untuk kebutuhan mencuci baju dan mandi, Muniroh bersama para tetangganya mesti berjalan kaki ke Kali Cicadas, biasanya setiap pagi dan sore hari.
Sementara untuk kebutuhan memasak, Muniroh membelinya dari pedagang air curah. “Sekalinya hujan ge leutik (kecil), cuma gerimis. Mau ambil air, jauh. Jadinya saya beli,” ujar ibu berusia 38 tahun itu.
Tak jauh dari rumah Muniroh sebenarnya terdapat sebuah embung buatan ketua RT setempat. Namun, embung itu kini terlihat seperti kubangan dengan kondisi air yang keruh.
Dampak dan solusi
Kepala Desa Weninggalih, Mamat Rahmat, membenarkan warganya terdampak kekeringan dan mengalami kesulitan air bersih. Menurut kepala desa bergelar sarjana teknik itu, masalah kesulitan air bersih di desanya bukan hanya karena dampak musim kemarau.