Kamis 10 Aug 2023 17:01 WIB

Kritik Rocky Gerung Harus Dicermati dalam Konteks Hukum dan Demokrasi

Masalahnya apakah presiden merasa terhina dan tersakiti atau tidak dari ucapan Rocky?

Podcast Nusantara2045 bertema
Foto: Republika.co.id
Podcast Nusantara2045 bertema

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UII) Prof Komaruddin Hidayat menganggap, kritikan pegiat politik Rocky Gerung yang dianggap menghina Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena mengandung umpatan kasar, setidaknya harus ditinjau dari tiga aspek.

Pertama, dilihat dari profesinya, kemudian cara dan substansi kritik, serta bahasanya. "Kalau kritik Rocky Gerung salah, maka silakan lanjutkan ke proses hukum," kata Komaruddin dalam tayangan podcast Nusantara2045 bertema 'Kontroversi Rocky Gerung, Kebebasan atau Hasutan' dikutip di Jakarta, Kamis (10/8/2023).

Baca Juga

"Namun, jika substansinya benar, harus didengarkan. Buat saya ada beberapa aspek dari kritik (Rocky). Ini juga sebagai pendewasaan demokrasi," ujar Komaruddin menjelaskan.

Dia menerangkan, ada bagian menarik dari kritikan Rocky sebagai bentuk penciptaan demokrasi. Meski begitu, perlu diperhatikan pula apakah kritiknya tersebut ada kesalahan atau tidak. Misalnya, memuat kebohongan, melanggar etika, dan sebagainya.

Eks rektor UIN Syarif Hidayatullah tersebut menjelaskan, negara seharusnya tidak boleh kalah hanya oleh perbuatan seorang Rocky. Pun seluruh elemen masyarakat menantikan bagaimana akhir dari frasa kritik yang disampaikannya.

"Indonesia punya banyak ahli hukum, bahasa, ayo saling berdebat ilmiah tentang frasa kritik Rocky. Kalau salah, tunjukkan. Namun, jika benar, bagaimana menyikapinya. Jadi, Indonesia punya kualitas dalam kehidupan demokrasinya," ujar Komaruddin.

Ahli hukum pidana UI Chudry Sitompul menyebut, terkait bahasa yang diucapkan Rocky dalam kritiknya perlu memperhatikan konteks kehidupan demokrasi suatu negara. Dia menilai, jika Rocky mengkritik menggunakan kalimat menghina pada demokrasi Amerika, tentu tidaklah salah.

Pasalnya, di negara itu tidak ketentuan menghina kepala negara atau presiden. "Namun, berbeda dengan demokrasi Indonesia. Di Indonesia tetap masih ada, meski sudah diuji materiil ke Mahkamah Konstitusi dan dituntut dihapus. Sekarang jadi delik materiel, akibat dari perbuatan dilakukan. Masalahnya apakah presiden merasa terhina dan tersakiti atau tidak dari ucapan Rocky, itu subjektif pribadi," ujar Chudry.

Pemandu podcast Prof. Imron Cotan mengemukakan, kritik Rocky cukup menyedot perhatian dari sisi penggunaan frasa kasar yang harus diakui telah melampaui batas dan menimbulkan provokasi. Imron menyebutkan, kasus seperti Rocky maupun yang lainnya bisa membuat bangsa Indonesia menjadi lebih dewasa dalam berdemokrasi.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement