REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Aditya Perdana menilai, bergabungnya Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) ke dalam koalisi pendukung Prabowo Subianto menghadirkan pekerjaan rumah soal penentuan cawapres. Pasalnya, setiap partai punya jagoan masing-masing.
"Bergabungnya Golkar dan PAN dalam koalisi ini pun juga tidak sepenuhnya dapat mudah dalam penentuan cawapres, seperti layaknya koalisi Anies Baswedan," kata Aditya, Senin (14/8/2023).
Koalisi pendukung Prabowo bernama Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) awalnya dibentuk oleh Partai Gerindra bersama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Terbaru, dua partai parlemen lainnya ikut mendukung dan bergabung, yakni Golkar dan PAN.
Keempat ketua umum partai tersebut menggelar deklarasi bersama di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta Pusat, Ahad (13/8/2023).
Aditya menjelaskan, PAN tentu akan terus mengupayakan agar Erick Thohir (ET) menjadi cawapres pendamping Prabowo sebagaimana telah dilakukan partai itu dalam beberapa bulan terakhir. Sedangkan Golkar juga akan menyodorkan kader terbaiknya, Airlangga Hartarto dan Ridwan Kamil.
Kandidat lainnya tentu Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar. PKB sebagai partai yang pertama kali mendukung Prabowo diketahui dalam beberapa pekan terakhir ngotot agar Muhaimin dijadikan cawapres.
"Jadi, potensi cawapres di sisi koalisi Prabowo adalah Gus Imin, Erick Thohir, Airlangga Hartarto/Ridwan Kamil. Penentuan cawapres dari sejumlah nama itu tentu tidak mudah diputuskan dalam koalisi," kata Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting itu.
Sementara itu, Prabowo menegaskan penentuan sosok cawapres akan dilakukan dengan cara musyawarah bersama seluruh anggota koalisi. "Pembicaraan tentang cawapres sudah sepakat bahwa kami akan terus berdiskusi, musyawarah mencari calon yang terbaik dan bisa diterima keempat partai," ujarnya saat acara deklarasi, kemarin.