Selasa 22 Aug 2023 13:31 WIB

Nasib Prabowo Nyapres di Tangan MK, Ini Sikap Gerindra

Habiburokhman menilai petitum gugatan justru membatasi hak seseorang untuk maju.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Teguh Firmansyah
Prabowo Subianto ikut meriahkan perayaan HUT ke-78 RI di ibu kota AS.
Foto: VOA
Prabowo Subianto ikut meriahkan perayaan HUT ke-78 RI di ibu kota AS.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Habiburokhman mengkritik adanya pihak yang ingin menggugat usia maksimal calon presiden (capres) menjadi 65 tahun. Menurutnya, petitum gugatan tersebut mengambil hak orang yang ingin maju dalam pemilihan presiden (Pilpres).

"Kalau saya melihat mungkin layak dimasukan di Museum Rekor Indonesia, sebagai kemungkinan satu-satunya gugatan yang petitumnya mengambil hak orang. Sebagai gugatan pertama yang petitumnya mengambil hak orang," ujar Habiburokhman di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (22/8/2023).

Baca Juga

Ia tak menampik, sudah menjadi hak warga negara Indonesia untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, prinsip petitum dalam gugatan tersebut justru membatasi hak seseorang untuk menjadi calon pemimpin.

"Kalau ini kan membatasi hak konstitusi orang, itu yang saya bilang bisa jadi ini gugatan pertama soal yang petitumnya secara prinsip ingin membatasi hak orang, hak konstitusional orang," ujar Wakil Ketua Komisi III DPR itu.

Diketahui, gugatan terbaru seputar pemilihan umum kembali terlayang di MK. Kini gugatan itu meminta agar seseorang hanya boleh menjadi calon presiden (capres) sebanyak dua kali dan usia kandidat dibatasi maksimal 65 tahun. Jika dikabulkan maka Prabowo Subianto dipastikan gagal karena sudah dua kali dan berusia 71 tahun.

Gugatan tersebut diajukan oleh seorang warga negara bernama Gulfino Guevarrato. Dia menunjuk Doni Tri Istiqomah dan empat orang lainnya sebagai kuasa hukum. Gugatan Gulfino didaftarkan ke MK pada hari ini, Senin (21/8/2023).

Ia mengajukan gugatan uji materi atas pasal terkait syarat menjadi calon presiden dan wakil presiden, yakni Pasal 169 huruf n dan q UU Pemilu. Pasal 169 huruf n berbunyi: "belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama".

Dalam petitumnya, Gulfino meminta MK mengubah bunyi Pasal 169 huruf n itu menjadi: "belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama, dan belum pernah mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden sebanyak 2 (dua) kali dalam jabatan yang sama".

Doni Tri Istiqomah mengatakan, hak konstitusional kliennya untuk menjadi capres terhalang apabila seseorang bisa menjadi capres lebih dari dua kali. Menurut dia, kandidat capres harus menggunakan etika politik dan sifat kenegarawanan, yakni tidak nyapres lagi apabila sudah dua kali kalah.

Namun, etika politik dan sifat kenegarawanan semacam itu tidak dilaksanakan oleh para kandidat karena belum diatur dalam UU Pemilu. "Sehingga para calon dapat secara bebas menggunakan haknya berkali-kali untuk kembali mencalonkan dirinya sebagai calon presiden dan wakil presiden, walaupun setiap pemilu selalu kalah," kata Doni membacakan berkas gugatan kliennya saat konferensi pers di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (21/8/2023).

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement