REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA — Sejumlah lahan sawah kondisinya mulai kering sejak beberapa pekan lalu di Kampung Sukasirna, Desa Manggungsari, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Tanahnya yang retak-retak menandakan lahan untuk menanam padi itu sudah lama tak diguyur hujan.
Sementara sejumlah lahan sawah lainnya terlihat basah. Sawah itu dialiri air dari Sungai Citanduy. Air dari sungai itu dialirkan ke persawahan dengan kincir air, yang dibuat petani sekitar satu bulan lalu.
Pada Selasa (22/8/2022), setidaknya tiga kincir air yang dioperasikan di aliran Sungai Citanduy. Masing-masing kincir berdiameter sekitar lima meter itu mengangkut air dari sungai dan mengalirkannya ke sawah petani melalui saluran yang terbuat dari bambu.
Menurut Kepala Desa Manggungsari, Ucu Komar Awaludin, penggunaan kincir air ini sudah menjadi tradisi petani Kampung Sukasirna saat menghadapi musim kemarau. Pasalnya, sawah di kampung itu jenis tadah hujan, yang mengandalkan pasokan air dari hujan.
Saat kemarau, sawah petani rawan kekeringan. “Kalau musim kemarau sawah di sini selalu kekeringan. Jadi, petani memanfaatkan kincir air untuk mengairi sawah dari Sungai Citanduy,” kata Ucu, Selasa.
Ucu mengatakan, para petani di Kampung Sukasirna membuat kincir air secara swadaya. Modal yang diperlukan sekitar Rp 1 juta untuk membeli bahan berupa bambu dan kayu. “Ini dibuat oleh petani sejak sebulan terakhir karena sudah sejak itu wilayah di sini kekeringan,” ujarnya.
Kincir air dinilai terbukti efektif sebagai solusi mengantisipasi kekeringan lahan sawah di Kampung Sukasirna. Dengan kincir air, blok lahan persawahan di kampung itu, yang luasnya sekitar empat hektare, tetap bisa ditanami padi saat masuk musim kemarau.
Pilih kincir dibandingkan pompa
Ucu menjelaskan, tradisi membuat kincir air saat menghadapi kemarau ini sudah dilakukan sejak puluhan tahun lalu oleh para petani di Kampung Sukasirna. Petani memilih kincir untuk mengalirkan air, alih-alih pompa.