Berbekal tiga kaleng beras, 30 bungkus tembakau, 30 bungkus rokok, dua bungkus cerutu, satu kompas kecil, satu jam tangan, tiga kotek korek api, dan empat parang, mereka kabur dari Boven Digoel pada 20 Juli 1929. Dari kamp pembuangan, mereka harus berjalan sekitar 10 jam untuk mencapai sungai. Berangkat sore hari, mereka harus menembus hutan belantara yang penuh rawa dan ilalang. Sesekali mereka bertemu dengan buaya di rawa-rawa.
Oohya! Baca juga ya:
Hari Sagu, Potensi Kemandirian Pangan Masyarakat Adat Papua
Daya Tahan Tubuh Orang Papua Terbantu oleh Protein Tambelo, Ulat Sagu, dan DNA Denisovan
Persiapan Indonesia Merdeka, BPUPKI Bahas Batas Wilayah Indonesia, Papua dan Malaya Ada di Dalamnya
Sendoyo (Solo), Dipo Sukarno (Solo), Kumeni (Yogyakarta), dan Abdurahman (Pomtianak) memilih melarikan diri karena tidak betah dengan suasana di kamp pembuangan. Selama persiapan pelarian, mereka telah mengikat janji: jika salah satu ada yang meninggal maka, yang lainnya harus bunuh diri. Meeka dibuang ke Boven Digoel, Papua, setelah kasus pemberontakan PKI 1926-1927.
Mereka mendapatkan perahu dengan cara menukarkan baju ke warga Papua pemilik perahu. Selama pelarian, mereka harus pula menerjang hujan, sehingga perbekalan menjadi basah. Ketika beras sudah habis, untuk sementara mereka harus makan dedaunan dan akar-akaran sebelum bertemu dengan orang Papua. Setelah bertemu dengan kampung orang Papua, mereka bisa memberikan barang-barang yang masih mereka punya untuk ditukar dengan sagu menggunakan bahasa isyarat karena tidak memahami bahasa masing-masing.
Setelah 22 hari mendayung perahu, mereka tiba disebuah pulau di perairan Australia. Ada beberapa perkantoran di pulau ini. Ketika melamar ke seorang Inggris, mereka tak bisa menunjukkan paspor. Akibatnya, mereka harus ke pengadilan, didenda 4.800 gulden atau penjara enam bulan. Tak bisa membayar denda, akhirnya mereka menjalani hukuman penjara. Baru sebulan menjalani hukuman, mereka dibawa ke Maluku, diserahkan kepada Gubernur Maluku.
Tiba di Ambon pada 2 November 1929 dengan pakaian yang sudah sobek-sobek. Dipenjara mereka hanya diberi baju using. Minta ganti, mereka harus membayarnya. Tapi uang dari mana untuk beli baju? Untuk beli tembakau saja mereka tidak punya. Tiga bulan mereka dipenjara di Ambon, sebelum dipulangkan kembali ke Boven Digoel.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
De Sumatra Post, 26 Februari 1929