REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI akan menutup masa pemberian masukan dan tanggapan masyarakat atas daftar calon sementara (DCS) anggota legislatif untuk Pemilu 2024 mendatang. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menyampaikan sejumlah catatan terkait tahapan tersebut.
"KPU mengaku tak banyak mendapatkan masukan dan tanggapan karena KPU berhasil melakukan tindakan preventif dan persuasif. Klaim keberhasilan tindakan persuasif dan preventif KPU ini tampaknya terlalu berlebihan," kata Lucius dalam keterangannya, Selasa (29/8/2023).
Formappi menduga terbatasnya masukan masyarakat karena informasi awal dari KPU tak menarik bagi masyarakat untuk ditindaklanjuti melalui masa pemberian masukan dan tanggapan. Minimnya aspek personal caleg yang ditampilkan KPU menggambarkan ketertutupan, sehingga gairah memberitahu KPU jadi hilang karena masyarakat merasa masukan dan tanggapan yang diberikan nantinya tidak akan ditindaklanjuti oleh KPU.
"KPU gagal memperlihatkan fungsi mereka yang tak hanya melayani parpol semata tetapi juga Pemilih. Membatasi informasi caleg demi menjaga hubungan baik dengan parpol adalah bentuk pengabaian KPU pada fungsi mereka sebagai pelayan masyarakat," ucapnya.
Lucius menilai KPU tak membaca, dan tak mencermati, akurasi data dan informasi yang mereka sampaikan ke publik melalui sistem informasi yang dikelola oleh KPU sendiri. Formappi menemukan adanya kesalahan penulisan jenis kelamin pada dua bakal caleg dari Partai Gelora. Dua nama bakal caleg tersebut yakni Fauzi Ramadhan Dapil Aceh II, Nomor Urut 2, dan Silas Heluka, Dapil Papua Pegunungan, Nomor Urut 3. Keduanya tertulis berjenis kelamin perempuan padahal berdasarkan penelusuran diduga keduanya bergender Laki-Laki.
"Bagaimana bisa ada kesalahan beruntun terkait akurasi data DCS Caleg? Itu artinya bahkan KPU tak peduli dengan akurasi data itu," ungkapnya.
Menurutnya menyalahkan operator parpol untuk kesalahan yang berada di ranah kerja KPU hanya menunjukkan hilangnya rasa tanggung jawab KPU atas validasi data yang dibagikan ke publik. KPU dinilai masa bodo dengan kredibilitas informasi.
"Mau benar atau salah KPU nggak mau urus. Yang penting mereka sudah terlihat bekerja saja. Benar atau salah bukan salah KPU, tetapi parpol atau pihak lain," kata Lucius.
Adanya temuan tersebut, Lucius menganggap bahwa KPU tidak lagi profesional, dan tidak bertanggung jawab. Ia mendesak agar ada aksi nyata dari KPU seperti meminta maaf atau mengundurkan diri terkait kesalahan tersebut. "Ketakbecusan penyelenggara dari waktu ke waktu selama tahapan ini akan dengan sendirinya menggerogoti wibawa KPU sendiri," ucapnya.