REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Tindakan Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K) yang dilakukan dengan benar dapat menjadi cara untuk meminimalisasi cacat atau penderitaan, bahkan kematian. Namun, bila tindakan P3K dilakukan dengan cara yang salah, malah dapat memperburuk keadaan, bahkan hingga menimbulkan kematian.
Dosen Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Muhammad Gagas Sasongko pun memberikan beberapa tipsnya. Saat menemukan korban kecelakaan, masyarakat diharuskan untuk tidak panik. "Jika panik dan tergesa-gesa, ditakutkan malah menambah risiko cedera bagi korban," katanya.
Menurut dia, pedoman PATUT menjadi hal yang perlu dilakukan. PATUT merupakan akronim dari penolong mengamankan diri sendiri lebih dahulu sebelum bertindak lalu amankan korban dari gangguan di tempat kejadian, sehingga bebas dari bahaya. Kemudian tandai tempat kejadian sehingga orang lain tahu bahwa di tempat itu ada kecelakaan dan usahakan menghubungi ambulans, dokter, rumah sakit atau yang berwajib seperti polisi atau keamanan setempat. Lalu tindakan pertolongan terhadap korban dalam urutan yang paling tepat.
Tindakan pertolongan yang dapat dilakukan pertama kali adalah memastikan adanya respons. Hal ini dapat dilakukan dengan menepuk atau menggoncang korban dengan hati-hati pada bahunya dan bertanya dengan keras.
Selanjutnya, penolong pada saat yang bersamaan melihat apakah korban tidak bernapas atau bernapas tidak normal (gasping). Apabila korban tidak merespons dan tidak bernapas atau bernapas tidak normal, maka harus dianggap bahwa korban mengalami henti jantung.
Berikutnya, penolong dapat melakukan pijat jantung (RJP). Penyelamat awam tidak dapat menilai dengan akurat apakah korban memiliki denyut nadi. "Tindakan RJP dapat dihentikan apabila korban kembali sadar, dinyatakan meninggal atau membahayakan penolong," ungkapnya.
Apabila terdapat pendarahan pada tubuh korban, maka penolong dapat menekan area yang luka. Hal ini dilakukan dengan menggunakan kain atau tisu yang bersih untuk menghentikan perdarahan.
Gagas juga menyampaikan, apabila korban masih menggunakan helm, maka penolong dapat mengeluarkan helm korban dengan beberapa cara. Apabila helm berbentuk telur (egg shaped), maka tekniknya, menarik helm ke atas penolong dan kesamping untuk menghindari tersangkut di telinga.
Lalu apabila helm tersebut full face, maka tekniknya diawali dengan melepas kaca. Kemudian mengangkat sisi bawah miring ke depan, diikuti penarikan dengan arah berlawanan dari gerakan pertama.
Menurut dia, sangat penting menjaga ketenangan dan mengurangi gerak bagi semua penolong. Kemudian perlu juga mempertahankan stabilitas kepala dalam rangka menjaga jalan nafas dan inline dari posisi. "Jika memiliki penyangga leher, maka sebaliknya digunakan," jelasnya dalam pesan resmi yang diterima Republika.