Oleh Muhammad Arsyad, Sekretaris PC GP Ansor Kabupaten Cirebon 2020-2024
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belakangan beredar video seorang pengasuh pesantren di Cirebon memberikan kuliah politik di depan beberapa calon anggota dewan perwakilan rakyat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dalam kesempatan tersebut beliau menyampaikan bahwa warga Nahdliyyin yang belum terafiliasi dengan PKB dianalogikan seperti emas yang kadarnya baru 15 karat. Berbeda jika sudah bergabung dengan PKB, maka ke-NU-annya sudah 24 karat.
Menurut saya, pendapat beliau adalah pendapat yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Meragukan ke-Nu-an warga Nahdliyyin hanya karena tidak terafiliasi dengan partai PKB, adalah sebuah pernyataan yang menyesatkan. Karena, NU dan PKB merupakan dua hal yang berbeda. NU adalah lembaga sosial keagamaan dan kemasyarakatan, sedangkan PKB adalah partai politik.
Dalam diskusi publik, penting untuk memahami perbedaan antara lembaga sosial keagamaan seperti NU dan partai politik seperti PKB. Penilaian yang lebih objektif dapat dicapai dengan memahami konteks dan latar belakang masing-masing entitas, serta menghormati keragaman pendapat di dalamnya. Dengan begitu, kita dapat menjaga dialog yang sehat dan memperkuat nilai-nilai demokrasi di Indonesia.
NU tidak terlibat langsung dalam agenda-agenda politik praktis. NU sebagai organisasi bergerak pada level politik tertinggi, yakni politik kebangsaan sebagaimana khittah NU 1926. Tidak ada anjuran secara struktural untuk pengurus NU agar bergabung dengan PKB. Begitupun dengan warga Nahdliyyin yang tidak terikat dengan struktur organisasi NU, bebas menyalurkan gagasan politiknya lewat partai politik manapun.
NU sebagai lembaga sosial keagamaan, memiliki keragaman pemikiran di antara anggotanya, dan banyak dari mereka mungkin memiliki komitmen kuat terhadap nilai-nilai agama tanpa harus terlibat dalam politik. Walaupun PKB lahir dari rahim NU, namun para anggota partai politik PKB tidak bisa memaksa kelompok Nahdliyyin untuk seragam dengan warna politik praktis mereka. Dan menurut saya, dengan dalih apapun, orang melakukan itu sekali lagi adalah orang yang tidak bertanggung jawab.
Pendapat saya, pengasuh pesantren yang berafiliasi dengan PKB tersebut, sepertinya memang sedang keranjingan kekuasaan. Sehingga ingin menerabas batas-batas etis itu, seakan-akan satu-satunya jalan untuk membesarkan NU hanya lewat PKB. Padahal, jangankan lewat PKB, menyatakan bahwa membesarkan NU hanya lewat jalur politik praktis saja sudah tidak benar. Sebab NU sudah besar dengan agenda-agenda sosial kemasyarakatannya.
Apa yang dia analogikan bahwa warga Nadliyyin yang tidak PKB berarti ibarat emas 15 karat di atas, adalah sebuah misleading. Dia sudah lupa bahwa dalam kaidah fiqh disebutkan bahwa al-ashlu baqo’u maa kaana ‘ala maa kaana (asal segala sesuatu adalah tetap dalam keadaannya semula), kadar ke-NU-an warga Nahdliyyin tidak bisa diragukan hanya karena tidak ber-PKB. Selaras dengan kaidah al yaqin laa yuzalu bi syak (keyakinan tidak bisa hilang karena keraguan), ke-NU-an tidak bisa hilang (diragukan) hanya karena tidak ber-PKB.
Menurut saya, dalam hal ini, pendapat KH. Yahya Cholil Tsaquf Ketua Umum PBNU jauh lebih tepat dan relevan. Bahwa NU lahir sudah jauh lebih lama dari PKB, sehingga PKB tidak bisa mendikte NU yang sudah teruji dalam dinamika apapun. Secara tegas KH. Yahya Cholil Staquf mengatakan berulang-ulang Bahwa NU bukan Partai Politik, NU bukan Partai Politik! Jadi jangan tanya capres dan cawapres sama NU.
Sudah jelas dan terang sehingga tidak perlu ngotot memaksakan kehendak partai tertentu kepada warga Nahdliyyin. Biarlah warga Nahdliyyin memilih afiliasi partainya sesuai kesadaran, kebutuhan riil, serta dinamika kehidupan sehari-hari mereka yang beragam. Tidak boleh berusaha mengerucutkannya pada satu partai seakan-akan kepentingan mereka pasti terwakili di satu partai tersebut.
Lebih jauh dari itu, saya berpendapat bahwa NU sebagai ormas terbesar di dunia, harus menjadi jangkar dalam segala dinamika politik. NU yang harus menentukan ke mana arah politik partai khususnya PKB sebagai anak ideologisnya ke depan. Para petinggi dan elit partai PKB lah yang sudah semestinya berada di bawah kontrol ideologis dan mandat visi dan misi NU.
Bukan sebaliknya dan jangan dibolak-balik. Maka sekali lagi saya tidak sependapat dengan statemen bahwa Orang NU wajib ber-PKB. Itu adalah pendapat yang tidak perlu diikuti.
Perlu dipahami, memaksa warga NU hanya memilih PKB akan menimbulkan efek negatif.
Salah satu efek negatif yang mungkin terjadi jika NU dipaksa untuk berpartai PKB sangat berpotensi mengkerdilkan peran besar NU yang bukan melulu berfokus pada persoalan receh, politik praktis. Diantara peran besar NU yang telah lama dilakukan adalah menjalankan pengawalan dalam mendesimenasikan agama Islam yang moderat dan inklusif di tengah masyarakat Indonesia yang plural-multikultural.
Namun, ketika organisasi keagamaan seperti NU terlibat secara langsung dalam politik praktis dan mengerucutkan dukungan ke partai tertentu, ada risiko bahwa agama akan digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik tertentu yang dangkal dan bahkan anti otokritik. Ini dapat mengakibatkan pemisahan antara kelompok-kelompok agama dan meningkatkan polarisasi dalam masyarakat.
Politik dan agama adalah dua entitas yang seharusnya terpisah untuk menjaga keadilan dan keberagaman dalam masyarakat. Ketika NU dipaksa untuk berpartai PKB, risiko politisasi agama meningkat. Agama mungkin digunakan untuk memenangkan dukungan politik, dan ini dapat merusak nilai-nilai agama yang seharusnya mengedepankan kedamaian, kasih sayang, dan keadilan. Gus Dur pernah mengatakan, bahwa agama harus jadi sumber inspirasi moral, intelektual dan kebudayaan yang luhur bagi negara, bukan jadi alat aspirasi partai politik!
Kemudian, NU sebagai organisasi independen, telah memiliki otonomi dalam menentukan jalannya sendiri dalam hal agama dan kegiatan sosialnya. Ketika NU dipaksa untuk berpartai PKB, kemungkinan besar akan mengalami tekanan politik yang dapat mengganggu kemandiriannya. Kehilangan kemandirian ini dapat mengurangi kapasitas NU untuk menjalankan misinya secara efektif dan netral. Apa jadinya jika kemudian NU bahkan warga Nahdliyyin terkena imbas politik dari dinamika yang terjadi di antara elit partai baik di internal PKB atau dengan anggota partai lain.
Itu semua bahkan akan menimbulkan kekacauan NU dari dalam. Paksaan terhadap NU untuk berpartai PKB juga dapat memicu konflik internal di dalam organisasi. Anggota NU memiliki beragam pandangan politik bisa saja kemudian akan hengkang karena merasa dipaksa organisasi untuk berpartai PKB dapat memicu perselisihan dan konflik yang dapat merusak persatuan dan integritas NU sebagai lembaga keagamaan.
Keterlibatan NU dalam politik melalui PKB juga dapat meningkatkan pengaruh eksternal dalam urusan internal organisasi. Pihak-pihak politik eksternal dapat mencoba mempengaruhi kebijakan dan arah yang diambil oleh NU, yang dapat mengancam kemandirian dan otonomi organisasi tersebut.
Biarlah warga NU memilih pilihan sesuai kehendak mereka. NU ada dimana-mana dan tidak kemana-mana!
Saya sebagai kader muda NU merasa prihatin melihat situasi ini; salah seorang pengasuh pesantren itu sampai mengatakan semoga Ketua PBNU mendapatkan “Hidayah” ini adalah sudah sangat berlebihan dan keterlaluan dia meragukan Ke-NUan Ketua Umum PBNU. Astagfirullahaladzim.
Saya pastikan, jika ada statemen yang terbalik-balik itu, berati ia adalah orang yang sedang ngelindur. Dan orang yang sedang ngelindur, tidak perlu didengarkan karena pasti apa yang diungkapkannya adalah hal yang ngawur!