Senin 18 Sep 2023 18:22 WIB

Harga Gabah Tembus Rp 7.500 per Kilogram, Penggilingan Padi Berhenti Produksi

Penggilingan harus menahan laju harga beras di level konsumen.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ahmad Fikri Noor
Buruh tani memisahkan bulir padi yang baru dipanen dengan menggunakan mesin, di Rancanumpang, Gedebage, Kota Bandung, Selasa (12/9/2023).
Foto: Edi Yusuf/Republika
Buruh tani memisahkan bulir padi yang baru dipanen dengan menggunakan mesin, di Rancanumpang, Gedebage, Kota Bandung, Selasa (12/9/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kenaikan harga gabah tak lagi terbendung oleh para penggilingan padi kecil di sentra-sentra perberasan. Imbas tingginya harga gabah, penggilingan memilih untuk berhenti produksi sementara lantaran tak kuat menahan laju kenaikan harga. 

Ketua Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Yogyakarta, Arif Yuniarto menuturkan, harga gabah kering panen (GKP) yang diterima petani saat ini menyentuh Rp 7.500 per kg dari semula masih kisaran Rp 5.000 per kg. Sementara, penggilingan harus menahan laju harga beras di level konsumen hingga menyebabkan kerugian usaha. 

Baca Juga

“Teman-teman yang beli gabah sekarang dan dijual sekarang, pasar tidak kuat. Rugi. Makanya banyak teman-teman penggilingan yang berhenti produksi,” kata Arif kepada Republika.co.id, Senin (18/9/2023). 

 

Menurut dia, idealnya bila harga gabah Rp 7.500 per kg, maka harga jual beras di level konsumen di atas Rp 14 ribu per kg. Namun, kata Arif, banyak penggilingan yang memilih untuk menahan harga di bawah Rp 14 ribu per kg dan rela menanggung kerugian. 

Adapun penyebab lonjakan harga gabah itu, kata Arif bukan lain karena produksi yang memang menipis. Alhasil terjadinya perebutan gabah oleh perusahaan penggilingan di daerah. 

“Jadi ini murni soal supply demand. Yang dibutuhkan jangka pendek, pemerintah harus bisa sediakan gabah murah. Kuncinya di gabah, bukan di beras,” ujarnya. 

Ia pun mengingatkan, kenaikan harga beras ini kemungkinan akan berlangsung hingga musim panen raya rendeng yang biasa tiba di bulan Februari-Maret. Sebab, berharap pada musim panen gadu di akhir tahun tak memungkinkan karena pasokan yang lebih rendah. Apalagi, para petani dihadapkan pada musim kemarau ekstrem yang berdampak langsung terhadap produksi gabah. 

Sementara itu, Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, mengatakan, para penggilingan padi skala besar juga tengah kesulitan mendapatkan gabah. Menurut dia, yang terpenting bagi perusahaan bukan soal harga, namun ketersediaan pasokan. 

Penggilingan padi besar bahkan rela menjual rugi berasnya demi tak kehilangan pelanggan tetap. “Dia rela rugi asal customer jangan hilang karena meraih customer perlu perjuangan luar biasa,” ujarnya. 

Ia pun mengusulkan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan harga eceran tertinggi (HET) gabah di tingkat penggilingan. Pasalnya, selama ini tidak ada pengaturan terhadap harga gabah yang berpengaruh besar terhadap pergerakan harga beras hingga ke tingkat konsumen. Ombudsman memastikan kenaikan harga beras yang signifikan saat ini murni disebabkan oleh tingginya harga gabah dari para petani yang diterima penggilingan. 

Hal itu didasari dari kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang sejak tahun lalu tak bisa diikuti oleh pasar. Sekalipun HET telah dinaikkan, faktanya harga beras tetap mengalami kenaikan yang lebih tinggi. 

“Persoalan saat ini bukan hanya soal beras saja, tapi gabah. Buktinya sekian lama dilakukan stabilisasi pasokan dan harga beras, harga masih naik,” kata Yeka.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement