REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Nathan Kacaribu mengatakan pemerintah saat ini sedang membedah kebijakan yang terkait panas bumi. Sebagai salah satu potensi unggulan dalam menghadapi transisi energi, Febrio menilai, investasi di sektor panas bumi harus didorong.
"Potensinya banyak dan kebutuhannya semakin besar untuk transisi energi ini. Kita sedang evaluasi bareng bareng khususnya soal governance drilling ini skemanya seperti apa," kata Febrio dalam International Geothermal Conference, Rabu (20/9/2023).
Febrio mengakui bahwa dalam pengembangan panas bumi eksplorasi menjadi tantangan yang besar. Tingginya risiko dalam pengembangan panas bumi menjadikan investasi yang dibutuhkan sangat besar.
"Ini kita lagi lihat lagi semua skemanya. Mana yang paling optimal dan sesuai kebutuhanan kita dorong kesana," kata Febrio.
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia Prijandaru Effendi mengatakan Indonesia mempunyai potensi panas bumi yang bisa jadi energi listrik yang besar. Hingga 24 GW. Hanya saja, laju pertumbuhan kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dari tahun ke tahun lambat.
"Hingga saat ini terpasang sudah 2.780 MW, atau rata-rata pertumbuhan panas bumi terpasang per tahunnya hanya sekitar 40 MW," kata Prijandaru.
Salah satu tantangan pengembangan panas bumi di Indonesia adalah tingginya risiko dalam pengeboran dan juga operasional panas bumi. Selain itu, inkonsistensi aturan dan kebijakan pemerintah jadi menghambat langkah investor untuk masuk ke Indonesia untuk melakukan pengembangan.
Selain persoalan kebijakan yang berubah dan tinggi risiko, lambatnya pertumbuhan PLTP juga dikarenakan harga jual listrik panas bumi yang tidak masuk kepada angka keekonomian pengembangan panas bumi. "Harga jual listrik, keekonomian proyek serta tingkat risiko yang tinggi menjadi tantangan besar pengembangan panas bumi di Indonesia," ujar Prijandaru.