REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Berutang akan menjadi masalah jika itu digunakan untuk konsumsi alih-alih investasi. Dan gali lubang tutup lubang sendiri sebenarnya sudah menjadi fenomena lama, jauh sebelum era pinjaman online (pinjol) menjamur.
Menjadi seolah-olah marak, karena ramai terciumnya kasus ekstrim yang disebut-sebut ditagih oleh debt collector tanpa etika, berakhir nasabah tersebut bunuh diri karena dipecat hingga ditinggal keluarganya.
“Pinjol memang makin mudah dan privat (tidak perlu berhadapan langsung dengan siapapun), ketika meminjam secara online,” ucap psikolog sosial Raymond Tambunan saat dihubungi Republika, belum lama ini.
Raymond mengutip dari Debt and Overindebtedness: Psychological Evidence and its Policy Implications karya Stephen EG Lea, bahwa berutang menjadi masalah, terutama ketika dilakukan oleh orang-orang karena salah satu atau kombinasi faktor berikut ini.
1. Ingin cepat dapat hasil atau keluar dari masalah tanpa mengubah fondasi masalah, sehingga sebenarnya tidak menyelesaikan masalah (yang penting bisa bayar dulu).
2. Persepsi terhadap risiko rendah (ah nanti juga ada jalan untuk lunasin).
3. Tidak atau kurang memiliki antisipasi dan kemampuan, untuk membuat perencanaan jangka menengah dan panjang.
Berutang menjadi masalah lebih luas (masalah sosial) karena faktor-faktor di luar individu seperti:
1. Ketimpangan ekonomi dan ketidakamanan sosial (Social Insecurity).
2. Kurangnya literasi finansial.
3. Regulasi dan implementasi peraturan yang dapat melindungi peminjam (terutama moda online) belum memadai.
Khusus pinjaman online, menjadi marak, bukan saja karena mudah, tetapi juga karena sulit diawasi. Lalu secara psikologis, calon peminjam tidak perlu bertemu muka dengan siapapun. Jadi seolah-olah tidak perlu ada transparansi dari pihak calon peminjam (karena tidak bertemu dengan siapapun, berbeda meminjam dari saudara, teman atau lainnya).
“Ditambah pula, persepsi terhadap tanda identitas pribadi seperti KTP dan KK, belum terlalu dihargai sebagai bagian dari privasi. Jadi membagikan tanda identitas itu kurang dipersepsikan sebagai hadir secara fisik,” ucap Raymond.