REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI -- Taiwan akan mengerahkan setidaknya dua kapal selam baru yang dikembangkan di dalam negeri pada 2027. Kapal selam itu akan dilengkapi dengan rudal, untuk memperkuat pencegahan terhadap angkatan laut Cina dan melindungi jalur pasokan utama.
Proses pembuatan kapal selam Taiwan ini ternyata dibantu oleh tujuh negara. Taiwan secara diam-diam mendapatkan teknologi, komponen, dan sumber daya manusia dari tujuh negara tersebut.
Penasihat keamanan presiden, Laksamana Huang Shu-kuang mengatakan mendapatkan bantuan asing merupakan tantangan tersendiri bagi Taiwan, yang tidak memiliki hubungan resmi dengan sebagian besar negara.
Huang menolak menyebutkan negara mana saja yang menyetujui izin ekspor. Namun Huang mengatakan, dipa telah menghubungi para jenderal dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, dan India.
“Bagi para jenderal asing yang setuju dengan gagasan saya, mereka membantu menyampaikan pesan tersebut kepada pemerintahnya atau mengatur pertemuan. Saya memberi tahu mereka kebutuhan kami dan itulah cara kami mencapai tujuan kami mendapatkan izin ekspor," ujar Huang.
Huang juga mengucapkan terima kasih atas bantuan besar dari tim yang dipimpin oleh pensiunan laksamana Angkatan Laut Kerajaan Inggris yang tidak disebutkan namanya, yang mendapatkan izin ekspor dari Inggris melalui perusahaan yang berbasis di Gibraltar. Inggris secara tajam meningkatkan jumlah suku cadang kapal selam dan ekspor teknologi yang disetujui tahun lalu untuk Taiwan.
Huang menggambarkan program ini "lebih sulit daripada mencapai langit". Dia merujuk pada tantangan seperti kekurangan chip global yang menimpa banyak produsen di seluruh dunia. Dia mengatakan, timnya bergegas mendapatkan chip dari Taiwan untuk menghindari penundaan oleh vendor asing.
Pemasok asing juga menarik diri pada menit-menit terakhir setelah pekerjaan dengan Taiwan bocor ke kedutaan Cina. Huang mengatakan, pelecehan militer yang kerap dilakukan Cina, termasuk pendekatan jarak dekat ke wilayah perairan dan wilayah udara Taiwan, telah mendorong Taiwan dan Amerika Serikat untuk memikirkan kembali strategi “asimetris” pulau tersebut untuk menjadikan pasukannya lebih mobile dan lebih sulit diserang, dengan fokus pada sistem senjata yang lebih kecil.
“Pemikiran Amerika berubah secara bertahap. Mereka menyadari bahwa Anda tidak dapat menahan (pelecehan) tanpa kapal yang lebih besar,” kata Huang, menunjuk pada rencana angkatan laut untuk membangun generasi baru kapal fregat yang lebih besar.
“Mereka (Cina) semakin dekat. Taiwan tidak bisa mengusir mereka dengan perahu kecil. Kita harus menggunakan perahu yang lebih besar," ujar Huang.