REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Pendukung kelompok tentara bayaran Wagner menyanjung sosok Yevgeny Prigozhin, yang terbunuh tepat 40 hari yang lalu dalam kecelakaan pesawat yang penyebabnya belum diketahui hingga detik ini. Prigozhin dielu-elukan puluhan pelayat sebagai pahlawan patriotik Rusia yang telah menyuarakan kebenaran kepada kekuasaan.
Pesawat jet pribadi Embraer yang ditumpangi Prigozhin menuju Saint Petersburg jatuh di utara Moskow dan menewaskan seluruh 10 penumpangnya. Salah satu di antaranya Prigozhin yang berada di dalam pesawat nahas itu, termasuk dua tokoh penting Wagner, empat pengawal Prigozhin, dan tiga kru pesawat.
Masih belum jelas apa yang menyebabkan pesawat itu jatuh, walau insiden terjadi dua bulan setelah upaya pemberontakan Prigozhin ke Moskow yang gagal. Kremlin mengatakan, pada 30 Agustus bahwa para penyelidik sedang mempertimbangkan kemungkinan bahwa pesawat itu sengaja dijatuhkan.
Jasad Prigozhin dimakamkan di bekas ibu kota kekaisaran Saint Petersburg, ibunya, Violetta, dan putranya, Pavel, meletakkan karangan bunga. Para pendukung mengibarkan bendera hitam Wagner yang bergambar tengkorak dan moto "Darah, Kehormatan, Tanah Air, Keberanian".
Dalam Ortodoksi Timur, diyakini bahwa jiwa melakukan perjalanan terakhirnya ke surga atau neraka pada hari ke-40 setelah kematian. Pada upacara peringatan di Moskow dan kota-kota lain di Rusia, puluhan pejuang Wagner dan warga Rusia biasa memberikan penghormatan, meski tak ada luapan kesedihan secara massal. Televisi pemerintah Rusia tak bersuara.
"Dia bisa dikritik karena peristiwa-peristiwa tertentu, tetapi dia adalah seorang patriot yang membela kepentingan tanah air di berbagai benua," kata bagian perekrutan Wagner dalam sebuah pernyataan di Telegram.
"Dia karismatik dan yang terpenting, dia dekat dengan para pejuang dan rakyat. Itulah mengapa ia menjadi populer baik di Rusia maupun di luar negeri," ujarnya.
Pemberontakan Prigozhin merupakan tantangan terbesar bagi pemerintahan Presiden Vladimir Putin sejak mantan mata-mata KGB itu naik ke tampuk kekuasaan pada 1999. Para diplomat Barat mengatakan bahwa hal ini menunjukkan ketegangan yang terjadi di Rusia akibat perang di Ukraina.