REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis meminta agar kewajiban transaksi elektronik dengan menggunakan tanda tangan elektronik (TTE) tersertifikasi tidak sampai memberatkan masyarakat sehingga kewajiban penggunaannya tidak dipukul rata untuk seluruh informasi maupun transaksi elektronik.
"Harapan saya, pemerintah membedakan transaksi yang wajib menggunakan TTE tersertifikasi. Transaksi elektronik ratusan ribu tentu jangan disamakan dengan transaksi perbankan, misalnya, kredit senilai Rp 5 miliar," kata Abdul Kharis dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (2/10/2023).
Hal tersebut disampaikannya menanggapi usulan pemerintah untuk mewajibkan penggunaan TTE tersertifikasi dalam transaksi tertentu yang dilakukan secara elektronik. Klausul tersebut akan dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang tengah dibahas bersama DPR RI.
Dia menyebut undang-undang mengenai ITE nantinya tidak akan mengatur secara teknis terkait transaksi tertentu yang wajib menggunakan TTE tersertifikasi, sebab ketentuan teknis terkait akan diatur dalam aturan turunan UU tersebut.
Dia mengatakan bahwa pada prinsipnya DPR sepakat TTE harus memiliki tingkat keamanan yang tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan. "Tanda tangan digital harus aman, bisa disimpan, tidak bisa dikloning, dan harus tersertifikasi," ujarnya.
Anggota Komisi I DPR Rizki Aulia Rahman Natakusumah juga menyatakan dukungan agar terciptanya regulasi transaksi elektronik yang aman dan nyaman, serta terjangkau bagi seluruh masyarakat luas.
Untuk itu, lanjut dia, seluruh kemungkinan terkait penggunaan TTE sedang didiskusikan di dalam Panitia Kerja (Panja) Pembahasan RUU ITE yang diharapkan hasilnya nanti bisa menyepakati pengaturan yang tepat.
"Kami menilai bahwa pengaturan pengamanan harus diregulasi secara tepat dan jangan sampai terlalu membebani konsumen sehingga potensi inovasi bisa terganggu," kata Rizki.