REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Umat Islam akan melakukan sholat istisqa (shalat memohon hujan) dengan dipengaruhi sejumlah sebab. Apakah salah satu indikator tepatnya melaksanakan sholat istisqa adalah dengan adanya cuaca yang terus panas dan kian ekstrem?
Imam Syafii dalam kitab Al-Umm menjelaskan bahwa Malik bin Anas berkata, “Seseorang mendatangi Rasulullah SAW lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, binatang-binatang ternak binasa dan jalan-jalan telah putus. Berdoalah engkau kepada Allah,’.
Rasulullah pun berdoa kepada Allah, maka hujan pun turun kepada kami dari satu Jumat ke Jumat berikutnya."
Masih berdasarkan hadits dari Malik bin Anas, dia berkata, “Maka kemudian seseorang mendatangi Rasulullah SAW lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, rumah-rumah telah hancur, jalanan telah terputus, dan hewan-hewan ternak sudah binasa."
Maka Rasulullah pun bangkit lalu berdoa, “Allahumma ala ru-usil-jabaali wal-aakami wa buthunil-awdiyati wa munaabati as-syajari." Yang artinya, “Wahai Allah, (turunkanlah hujan) ke puncak-puncak gunung, bukit-bukit, lembah-lembah, dan tempat-tempat tumbuhnya pepohonan."
Dan mendadak awan hujan pun tersibak dari angkasa Kota Madinah seperti tersibaknya kain. Imam Syafii berkata, “Apabila kekeringan terjadi, atau air mulai berkurang di sungai, mata air, atau sumur, baik itu terjadi di kota maupun di daerah pelosok yang didiami kaum Muslimin, maka saya tidak suka apabila seorang imam tidak melakukan sesuatu untuk memohon turunnya hujan."
Kalaupun ternyata imam tidak melakukan permohonan itu, maka dia tidak harus melakukan kafarah apapun dan tidak perlu mengqadha. Akan tetapi dia telah berbuat buruk karena menolak memohon turunnya hujan dan karena dia telah meninggalkan sunnah pada kondisi itu, yang memang bukan merupakan sebuah kewajiban atau suatu keutamaan.
Tata cara sholat istisqa menurut Imam Syafii
Imam Syafii dalam Fikih Manhaji menjelaskan, ada tiga cara yang disunahkan untuk sholat istisqa. Yakni, minimal berdoa di waktu-waktu yang disukai, (sedang) yaitu berdoa setelah rukuk pada rakaat terakhir sholat wajib dan usai shalat, dan (maksimal) dilakukan pada sholat istisqa dan dilaksanakan dengan tata caranya.
Yakni sebagai berikut:
1. Imam atau wakilnya memerintahkan agar warga bertaubat secara benar, bersedekah kepada warga miskin, menghentikan kezhaliman serta mempererat persaudaraan, dan puasa empat hari berturut-turut.
Ketiga hal itu disunahkan karena memiliki hubungan dengan dikabulkannya doa sebagaimana terekam dalam sejumlah hadits-hadits shahih.
2. Imam membawa mereka ke tanah lapang di hari keempat puasa. Pakaian yang mereka kenakan mencerminkan kerendahan, kekhusyukan, dan ketundukan. Imam atau wakilnya melakukan shalat dua rakaat secara berjamaah persis seperti shalat Id.
Ibnu Majah dan lainnya meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berujar, "Rasulullah SAW muncul dalam pakaian yang tawadhu, penuh kekhusyukan dan ketundukan. Beliau shalat dua rakaat seperti shalat Id."
3. Usai sholat imam pun berkhutbah dua kali, persis seperti khutbah sholat Id. Bedanya, khutbah kali ini patut diawali dengan beristighfar sembilan kali waktu khutbah pertama, dan tujuh kali pada khutbah kedua.
Ketika khutbah kedua berlangsung hingga sepertiganya, khatib berpaling menghadap kiblat dan membelakangi jamaah. Ia mengubah posisi serban dengan memutar bagian atas hingga menjadi bagian bawah dan bagian bawah menjadi bagian atas. Bagian kanan ke kiri dan bagian kiri ke kanan. Ini merupakan simbol ketundukan kepada Allah SWT.
Para jamaah juga disunahkan untuk melakukan hal yang sama. Khatib disunahkan pula untuk memperbanyak istighfar, berdoa, bertaubat, dan menundukkan diri kepada Allah SWT.
4. Disunahkan untuk membawa serta anak-anak kecil, orang usia lanjut, dan hewan ternah ke tanah lapang. Ini karena musibah menimpa semua orang. Selain itu, tidak sepatutnya kafir dzimmi (yakni) dilarang untuk menghadirinya.