REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Penggunaan kalender Hijriyah sangat penting bagi umat Islam. Dalam perjalanan sejarah, nyatanya penggunaan kalender Hijriyah ini pun dapat diikuti permulaannya dari jejak batu-batu nisan kuno yang ada di Indonesia.
Hasan Muarif Ambary dalam buku Jejak Arkelogis dan Historis Islam di Indonesia menjelaskan, pertanggalan Hijriyah tertua diperoleh dari tahun wafat seorang Muslimah yang bermukim di Leheran (Gresik). Muslimah ini bernama Fatimah binti Maemun bin Hibatallah.
Nisan makamnya tertuliskan isyarat waktu, yakni tertulis wafat pada 7 Rajab tahun 475 Hijriyah atau 25 November 1082 Masehi.
Di kampung gapura Gresik juga terdapat inkripsi pertanggalan tahun wafat Maulana Malik Ibrahim pada 12 Rabiul Awal tahun 822 Hijriyah atau 8 April 1419 Masehi.
Data sejarah dan arkeologi selanjutnya juga menunjukkan bukti bahwa kerajaan Islam tertua di Nusantara, Kerajaan Samudera Pasai, menggunakan kalender Hijriyah.
Disebutkan, raja pertama tersebut yakni Sultan Malik As Saleh yang tercatat pada Ramadhan 696 Hijriyah atau 1297 Masehi bertahta.
Penggunaan kalender Hijriyah juga tercatat pernah dilakukan oleh kerajaan Islam Nusantara lainnya, yakni kerajaan Islam di Banten tepatnya di Kota Sorasowan. Kerajaan ini berdiri pada 1 Muharam tahun 932 Hijriyah atau 8 Oktober 1526 Masehi.
Penggunaan kalender Hijriyah bukan hanya dilakukan kalangan birokrat kerajaan semata. Salah satu Wali Songo, yakni Sunan Giri, bahkan telah mengarang kitab ilmu falak (perbintangan dan astronomi) yang disesuaikan dengan alam dan jalan pikir masyarakat Jawa.
Akulturasi budaya
Di dalam Serat Widya Praddana karya Sunan Giri disebutkan, ilmu falak sebagai sebuah disiplin ilmu astronomi memuat penanggalan yang berlaku bagi orang Jawa atas prinsip-prinsip ilmu falak Islam.
Dalam serat itu pun disebutkan nama-nama hari, tanggal, tahun, windu, dan sebagainya yang semula berwujud istilah-istilah Hindu-Budha maka diubah menjadi istilah-istilah Islam.
Sebagaimana lumrah diketahui, sistem penanggalan Jawa masa lampau dikenal atas pembagian enaman (sadwara), limaan (pancawara) hari yang tertera dalam prasasti dan masih berlaku hingga kini di Bali, serta padanan dalam sistem hari Islam. Sedangkan dalam sistem pancawara pada Jawa modern, dikenal penyebutan hari-hari antara lain Paing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi.
Adapun penamaan bulan dalam satu tahun antara lain Sura, Sapar, Mulid, Bakda, Maulid, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkangidah, dan Besar. Penamaan ini sedikit banyak berasal dari akulturasi bahasa dalam kalender Islam.
Baca juga: Golongan Ini Justru akan Dilawan Alquran di Hari Kiamat Meski di Dunia Rajin Membacanya
Tak hanya itu, nama-nama Islam yang berkaitan dengan tarikh pun terjadi dan tersisa hingga sekarang. Di Bengkulu, dikenal adanya upacara tradisional yang disebut tabot dan di Minangkabau dikenal dengan nama tabuik.
Upacara ini diselenggarakan antara 1-10 Muharram dalam rangka memperingati gugurnya cucu Rasulullah SAW, Hasan-Hosen pada tahun 61 Hijriyah.
Bukti-bukti lainnya adalah hari-hari besar Islam yang ada di Indonesia, baik yang secara besar-besaran diperingati seperti di Keraton Yogyakarta (grebegan maulid), Keraton Cirebon (punjung jimat), atau pun yang dirayakan sederhana di masjid-masjid.
Hari-hari besar tersebut antara lain 1 Muharram atau biasa dikenal Tahun Baru Islam, 12 Rabiul Awal yang diperingati sebagai Maulid Nabi, 27 Rajab sebagai peringatan Isra Miraj, 1 Syawal Idul Fithri, dan 10 Dzulhijjah sebagai hari raya Idul Adha.