REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter mata subspesialis strabismus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Gusti G. Suardana menyatakan mata juling (strabismus) merupakan sebuah kelainan pada mata yang bisa disembuhkan dengan metode pengobatan seperti pemakaian kacamata dan operasi.
“Bila kacamata tidak dapat menghilangkan juling sepenuhnya, maka operasi juling perlu dilakukan untuk menghilangkan juling yang belum terkoreksi,” kata Gusti dalam sesi media yang diikuti di Jakarta, Sabtu (14/10/2023).
Gusti menekankan meski kedua metode tersebut dapat dilakukan, proses tindakan tidak bisa langsung diputuskan karena pasien harus melakukan skrining mata terlebih dahulu. Sebab, penggunaan kacamata hanya dapat diberikan jika juling pada mata disebabkan karena adanya kelainan refraksi (hiperopia atau miopia) yang tidak dikoreksi.
Kacamata dapat mengurangi juling atau menghilangkan kebutuhan akan operasi juling. Setelah pemakaian, setiap pasien harus diperiksa kembali keadaan mata dan kelainan refraksinya. Kacamata juga harus selalu dipakai dalam segala aktivitas untuk membantu meluruskan matanya.
Terkait dengan operasi, Gusti menjelaskan operasi juling sebaiknya dilakukan bila penglihatan pada kedua bola mata telah seimbang, sehingga penglihatan binokular dapat berkembang. Sebaliknya, jika juling hilang timbul, operasi juling tidak harus dilakukan segera karena anak masih memiliki penglihatan binokular pada sebagian waktu.
“Pada orang dewasa, bila juling telah terjadi sedemikian lama atau sejak kecil dan tidak mungkin mendapatkan penglihatan binokular, maka operasi dilakukan untuk tujuan memperbaiki penampilan atau kosmetik,” ujar dokter yang praktik di JEC Eye Hospital ini.
Walaupun demikian, Gusti tidak dapat menjamin garansi pasien dapat pulih 100 persen dari juling pasca operasi dijalankan. Hal itu disebabkan karena penyembuhan tergantung dari kondisi masing-masing pasien.
Ia juga meminta supaya masyarakat tidak termakan oleh pengetahuan palsu yang mengatakan mata juling tidak dapat disembuhkan, sehingga membentuk stigma bahwa kelompok juling adalah orang-orang yang berbeda dan menyebabkan penderitanya mengalami penurunan kepercayaan diri hingga tekanan psikologis.
“Mohon dipahami bahwa mata juling terjadi akibat posisi kedua bola mata tidak sinkron dan terlihat menyimpang dari posisi yang seharusnya. Kondisi itu dapat terjadi pada berbagai macam usia, jenis kelamin, secara mendadak atau sejak lama, dengan berbagai potensi penyebabnya,” katanya.
Dalam sebuah studi global di tahun 2021 pun, diketahui prevalensi mata juling di seluruh dunia diperkirakan mencapai 1,93 persen atau lebih dari 148 juta individu. Dengan gejala mata juling berupa mata tidak sejajar ke arah yang sama, gerakan mata tidak terkoordinasi, kehilangan penglihatan atau persepsi kedalaman dan memiringkan kepala selama berbagai kegiatan.
Akibatnya, penderita mata juling berpotensi terkena gangguan penglihatan lainnya seperti mata malas (ambliopia). Gusti menambahkan pergerakan mata untuk fokus membutuhkan koordinasi yang diatur oleh 12 otot mata. Jika terkena juling, salah satu mata seseorang akan mengarah ke arah yang berlainan dengan mata yang lain.
“Garis penglihatan tidak pararel sehingga kedua bola mata tidak bisa berfokus pada objek yang sama,” ucapnya.