Kamis 19 Oct 2023 17:19 WIB

Ini Lima Dinamika Global yang Paksa BI Naikkan Suku Bunga

BI perlu menyikapinya dengan mengubah arah kebijakan.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Tangkapan layar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kiri) dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti (kanan).
Foto: Dok Tangkap Layar
Tangkapan layar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kiri) dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memutuskan menaikkan suku bunga acuan pada Kamis (19/10/2023) menjadi enam persen. Perry mengungkapkan, ada lima dinamika yang membuat BI perlu menyikapinya dengan mengubah arah kebijakan.

"Dinamika global sangat cepat dan tidak bisa diprediksi. RDG bulan lalu kami sampaikan dengan informasi terbaru pada saat itu tapi kemudian perubahan cepat," kata Perry dalam konferensi pers RDG Bulanan BI Oktober 2023, Kamis (16/10/2023).

Baca Juga

Perry menjelaskan, yang pertama yaitu pertumbuhan ekonomi global akan melambat dengan divergensi pertumbuhan antar negara yang melebar. Dia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini sebesar 2,9 persen dan tahun depan hanya 2,8 persen dengan balance of risk akan lebih rendah dari 2,8 persen.

Sementara itu, Perry menyebut divergensi AS sementara pada tahun ini masih kuat tapi juga akan melambat tahun depan. Lalu China saat ini sudah melambat dan juga akan terus melambat.

"Nah, ini yang kemudian dalam dua tahun ke depan pada 2024 dan 2025, pertumbuhan ekonomi akan melambat. Tahun depan divergensi sumber pertumbuhan masih melebar tapi baru menyempit 2025 dan baru kemudian pada 2026 kemungkinan akan stabil," jelas Perry.

Untuk itu, dia mengatakan pada 2024 masih diliputi ketidakpastian mengenai pertumbuhan ekonomi global yang akan cenderung melambat. Perry menilai, seluruh dunia memang harus mendorong permintaan domestik supaya pertumbuhan ekonomi masih tinggi.

Lalu yang kedua yaitu tensi ketegangan geopolitik saat ini juga meningkat. "Ketegangan geopolitik ini menyebabkan harga minyak sudah naik, harga pangan tetap tinggi, dan karenanya akan memperlambat penurunan inflasi global," ucap Perry.

Selanjutnya yang ketiga adalah suku bunga di negara maju termasuk Fed Funds Rate (FFR) masih akan higher for longer. Perry menegaskan, BI menakar ada probabilitas sekitar 40 persen FFR akan naik pada Desember 2023 dan ketidakpastian tinggi.

"Tapi meskipun naik atau tidak naik (FFR) itu masih akan tetap tinggi khususnya di paruh pertama tahun depan. Baru akan mulai turun pada paruh kedua tahun depan itu FFR nya," tutur Perry.

Lalu yang keempat yaitu kenaikan suku bunga global tidak hanya dalam jangka pendek. Perry mengatakan, suku bunga yield US treasury saat ini sekitar 5,2 persen yang 10 tahun lalu hanya 4,6 persen.

Terakhir yakni dinamika global yang berkaitan dengan implikasi naiknya suku bunga yield US treasury. Hal itu berdampak kepada aliran modal dari negara emerging market.

"Aliran modal dari negara emerging market yang sudah mulai stabil bahkan sudah mulai masuk ke Indonesia dan negara emerging market itu kembali lagi ke cash is the king. Banyak kemudian pindah ke negara maju dan juga memperkuat dolar AS," ucap Perry.

Sebelumnya, BI mengungkapkan ekonomi global masih mengalami perlambatan selain itu kondisi geopolitik juga memanas. Mengatasi hal tersebut BI pada hari ini (19/10/2023) memutuskan untuk menaikan suku bunga acuan.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 18 dan 19 Oktober 2023, memutuskan untuk menaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi enam persen," kata Perry. 

Dia menambahkan, suku bunga deposit facility juga naik 25 bps menjadi 5,25 persen. Lalu juga suku bunga lending facility juga masih tetap sebesar 6,75 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement