Selasa 31 Oct 2023 20:44 WIB

Kredit Karbon akan Jadi Pembahasan Utama Konferensi Iklim PBB COP28

Kredit karbon mendapat kritik yang keras dari para ilmuwan dan para aktivitas iklim.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Kredit karbon diperoleh dari proyek-proyek hijau yang mengklaim telah menyerap atau menyimpan CO2 melalui pelaksanaannya.
Foto: www.freepik.com
Kredit karbon diperoleh dari proyek-proyek hijau yang mengklaim telah menyerap atau menyimpan CO2 melalui pelaksanaannya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kredit karbon yang dibeli oleh perusahaan untuk mengimbangi emisi karbon akan menjadi sorotan dalam konferensi iklim PBB (COP28) bulan depan. Kredit yang telah diperdebatkan sejak dimasukkan ke dalam Kyoto Protocol tahun 1997, memungkinkan perusahaan untuk melabeli segala sesuatu mulai dari shampo hingga perjalanan udara sebagai 'netral karbon'.

Namun kredit karbon mendapat kritik yang keras dari para ilmuwan dan para aktivitas iklim. Beberapa studi ilmiah dan laporan investigasi telah mempertanyakan kredibilitas kredit karbon sukarela, yang berada di luar pengawasan PBB.

Baca Juga

"Tidak adanya standar, peraturan dan ketegasan dalam kredit pasar karbon sukarela sangat memprihatinkan," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada konferensi iklim COP27 tahun lalu.

Kredit karbon diperoleh dari proyek-proyek hijau yang mengklaim telah menyerap atau menyimpan CO2 melalui pelaksanaannya. Proyek-proyek tersebut dapat berupa apa saja, mulai dari memerangi deforestasi, mengganti tungku pembakaran kayu, atau mengganti pembangkit listrik tenaga batu bara dengan turbin angin. Satu kredit setara dengan pengurangan atau penghilangan satu ton CO2 dari atmosfer, dan perusahaan dapat membeli kredit ini untuk mengkompensasi jejak karbon mereka.

Direktur Berkeley Trading Project, Barbara Haya, mengatakan bahwa hingga saat ini tatalaksana kredit karbon masih sangat buruk. Setelah melakukan studi tentang pencegahan deforestasi, Haya menyimpulkan bahwa pengurangan emisi dan manfaat dari proyek-proyek tersebut telah dibesar-besarkan dan sering kali melanggar hak-hak masyarakat lokal.

“Tidak ada jaminan bahwa para pengawas proyek bersifat independen dan praktek-praktek pemberi sertifikasi kredit karbon seperti Verra dan Gold Standard sangat lemah. Terlalu banyak kredit yang diterbitkan dan sebagian besar gagal melakukan pengurangan yang dijanjikan,” tegas Haya seperti dilansir France24, Selasa (31/10/2023).

Para ilmuwan juga menilai, kredit karbon berpotensi mengarah pada greenwashing. Greenwashing terjadi ketika perusahaan atau negara menggunakan klaim-klaim yang menipu untuk meyakinkan publik bahwa produk atau operasi mereka ramah lingkungan.

Menurut laporan, Liberia sedang dalam proses perjanjian yang akan memberikan 10 persen wilayahnya untuk perlindungan hutan dengan imbalan kredit karbon untuk sebuah perusahaan Emirat yang diketuai oleh anggota keluarga penguasa Dubai. "Perjanjian semacam ini dapat mengarah pada operasi greenwashing berskala besar,” ujar Alain Karsenty dari Pusat Penelitian Pertanian Prancis untuk Pembangunan Internasional.

Menghadapi kritik ini, harga kredit karbon untuk proyek-proyek konservasi alam anjlok dari 18 dolar AS per ton pada Januari 2022 menjadi enam dolar AS pada Januari 2023, kemudian kurang dari dua dolar AS pada pertengahan Oktober.

Setelah mencapai puncaknya dengan lebih dari 350 juta kredit yang diterbitkan pada tahun 2021, jumlahnya sedikit menurun pada tahun 2022 dan 2023. Namun, jumlahnya masih jauh di atas jumlah sebelum tahun 2020, dan menurut Bloomberg, kredit dapat mencapai delapan miliar pada tahun 2050.

Di sisi lain, perusahaan juga tidak sendirian dalam mencapai status netralitas karbon. Merujuk pada pasal enam dari Perjanjian Paris, negara-negara dimungkinkan untuk bekerja sama dalam mencapai target pengurangan emisi, termasuk dengan mentransfer kredit karbon.

Dengan demikian, hal ini memungkinkan negara-negara untuk berinvestasi secara substansial di pasar kredit karbon, sementara negara-negara berkembang dapat mengandalkan kredit tersebut untuk pendanaan iklim yang penting. Meskipun bagi negara-negara penghasil minyak, kredit karbon merupakan solusi yang murah untuk mencapai status Net Zero.

Para peneliti dan kelompok terus kampanye mendesak agar kredit karbon dihentikan. Sebagai gantinya, mereka menginginkan pendekatan "kontribusi" di mana perusahaan dan pemerintah akan mendanai proyek-proyek yang diperlukan untuk mengurangi emisi. Mereka tidak akan diizinkan untuk menggunakan kredit karbon untuk klaim netralitas karbon yang meragukan. 

Namun terlepas dari kekhawatiran peneliti, Konferensi iklim PBB atau COP28 yang akan dimulai pada November mendatang, akan mencoba untuk menyelesaikan rincian kredit karbon agar negara-negara dapat memasuki pasar penggantian kerugian karbon. Tuan rumah COP28, Uni Emirat Arab, juga berharap akan ada kemajuan selama konferensi di Dubai untuk mendapatkan kredibilitas di pasar.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement