REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Wasiat berasal dari kata bahasa Arab, yaitu washiyyah yang berarti sesuatu yang dipesankan. Dalam hal ini sesuatu yang dipesankan oleh seseorang kepada orang lain agar dilaksanakan setelah kematian si pemberi pesan. Wasiat juga berarti pemberian seseorang kepada orang lain berupa harta, benda, atau manfaat sesuatu agar dapat diterima sebagai hibah oleh si penerima wasiat setelah kematian si pemberi wasiat.
Hukum berwasiat bisa berbeda-beda tergantung situasi dan kondisi orang yang bersangkutan. Hukum wasiat bisa jadi adakalanya menjadi wajib apabila yang bersangkutan memiliki utang. Misalnya orang yang punya utang, maka dia wajib berwasiat. Kalau sampai meninggal, dia berwasiat agar utang-utangnya ditanggung oleh ahli waris.
Namun adakalanya hukum berwasiat dapat menjadi sunah ketika ada orang yang menjelang ajalnya memberikan wasiat kepada kerabat atau bukan pada ahli waris. Selain itu, berwasiat hukumnya bisa menjadi haram apabila yang bersangkutan mewasiatkan hartanya untuk difungsikan atau disalurkan kepada hal-hal yang maksiat.
Karenanya seseorang harus dapat membedakan antara orang yang berwasiat dan orang yang diwasiatkan. Sebab, penentuan hukum bagi keduanya jelas berbeda di dalam fikih. Adapun wasiat sendiri dalam hukum Islam merupakan anjuran yang baik bagi kaum Muslimin.
Muhammad Al Baqir dalam bukunya berjudul Panduan Lengkap Muamalah Menurut Al Quran, Al Sunnah, dan Pendapat Para Ulama juga menjelaskan tentang hukum wasiat yang bisa berubah-ubah sesuai kasusnya.
Pertama, wasiat hukumnya wajib. Yakni, apabila ada suatu kewajiban (berkaitan dengan hak Allah atau hak manusia lain) yang harus dia laksanakan, sehingga khawatir jika tidak diwasiatkan hal itu tidak disampaikan kepada yang berhak.
Misalnya, zakat yang belum dia keluarkan atau kewajiban berhaji yang belum dia laksanakan. Atau ada titipan yang diamanahkan kepadanya, atau utang yang harus dilunasi, dan sebagainya.
Kedua, wasiat hukumnya mustahab (sangat dianjurkan). Yakni dalam berbagai perbuatan taqarrub (pendekatan diri kepada Allah), yaitu dengan mewasiatkan sebagian dari harta yang ditinggalkan untuk diberikan kepada sanak kerabat yang miskin (terutama yang tidak menerima bagian dari warisan). Atau orang-orang saleh yang memerlukan, atau untuk hal-hal yang berguna bagi masyarakat seperti pembangunan lembaga pendidikan, kesehatan, sosial, dan sebagainya.
Ketiga, wasiat hukumnya haram jika menimbulkan kezaliman bagi ahli waris, yakni jika dimaksudkan untuk sesuatu yang haram. Misalnya, untuk membangun tempat-tempat maksiat atau untuk menghambur-hamburkan uang dalam hal yang tidak bermanfaat, ini juga haram.
Keempat, wasiat hukumnya makruh., yakni jika harta si pemberi wasiat hanya sedikit, sedangkan para ahli waris sangat memerlukannya. Atau jika ditujukan kepada orang-orang tertentu yang ada kemungkinan dapat digunakan oleh mereka dalam melakukan kegiatan kefasikan (perbuatan dosa) dan sebagainya.
Kelima, wasiat hukumnya mubah (boleh), yakni jika dilakukan oleh seseorang yang cukup kaya dan ditujukan kepada siapa saja yang dikehendaki olehnya, baik dia termasuk sanak kerabatnya ataupun bukan.
Selain itu Muhammad Al Baqir juga menjelaskan ada tujuh ketentuan dalam wasiat. Sebagai berikut:
1)Pemberi wasiat haruslah seorang yang waras akalnya, dewasa, tidak dipaksa, dan tidak pula terkena larangan melakukan tindakan hukum (misalnya karena masih dianggap tidak cukup umur, atau lemah akal sehingga tidak menyadari sepenuhnya apa yang dia lakukan).
2)Akad wasiat, sebagaimana juga akad-akad lainnya, memerlukan ijab (pernyataan penyerahan) dari si pemberi wasiat, dan qobul (persetujuan penerimaan) dari si penerima wasiat. Ijan harus menggunakan ucapan yang jelas tentang pemberian cuma-cuma (tanpa pengganti) atau pemindahan kepemilikan sesuatu yang diwasiatkan, dari si pemberi wasiat kepada penerima yang ditentukan, dan berlaku setelah kematian si pemberi wasiat. Misalnya: "Saya mewasiatkan ini (seraya menyebut sesuatu yang dimaksud) untuk diberikan kepada si Fulan setelah kematianku". Atau kata-kata lain yang jelas bermakna seperti itu. Atau dengan isyarat yang dapat dipahami dengan jelas bila dia tidak mampu mengucapkannya. Atau dengan secara tertulis dan sebagainya.
3) Wasiat (yang berisi pemberian sesuatu) yang ditujukan kepada sekolah, masjid, rumah sakit, panti asuhan, dan sebagainya, tidak memerlukan adanya qabul (persetujuan penerimaan), tetapi cukup dengan ijab dari si pemberi wasiat (seperti telah dijelaskan di atas), mengingat bahwa yang demikian itu dianggap sebagai sedekah biasa. Akan tetapi apabila wasiat ditujukan kepada pribadi (orang) tertentu, maka kelak-sepeninggal si pemberi wasiat- harus ada qabul dari si calon penerima (atau walinya bilamana si calon penerima masih di bawah umur). Dengan adanya qobul seperti itu, wasiat tersebut diberlakukan atau jika tidak, wasiat tersebut menjadi batal, sementara benda yang diwasiatkan tetap menjadi milik para ahli waris.
4) Wasiat termasuk akad yang tidak mengikat sepanjang si pemberi wasiat masih dalam keadaan hidup. Karena itu, dia boleh membatalkannya atau mengadakan perubahan di dalamnya sewaktu-waktu. Misalnya dengan menyatakan, "Saya batalkan wasiat yang telah saya berikan (atau tuliskan)". Atau "saya ganti dengan wasiat yang baru,". Atau dengan melakukan tindakan yang mengeluarkan harta -yang tadinya dia wasiatkan -dari kepemilikannya, seperti dengan menjual atau menghibahkannya kepada orang lain.
5)Si penerima wasiat tidak dianggap berhak atas sesuatu yang diwasiatkan untuknya kecuali setelah wafatnya si pemberi wasiat dan setelah pelunasan semua utangnya. Dan seandainya utang-utangnya menghabiskan seluruh peninggalannya, maka si penerima wasiat tidak lagi berhak atas apa pun.
6) Boleh saja menggantungkan suatu wasiat dengan persyaratan tertentu sepanjang hal itu menguntungkan bagi si pemberi wasiat atau penerimanya atau selain kedua mereka, sepanjang tidak terlarang atau bertentangan dengan hal-hal kebaikan yang merupakan tujuan utama syariat.
7)Jumlah harta yang diwasiatkan untuk orang atau lembaga tertentu tidak boleh melebihi sepertiga dari keseluruhan harta peninggalan. Bahkan yang lebih utama adalah berwasiat dengan sedikit kurang dari sepertiga.
(Lihat Panduan Lengkap Muamalah Menurut Al Quran, Al Sunnah, dan Pendapat Para Ulama karya Muhammad Al Baqir penerbit Noura Books, 2016, halaman 338-339).