REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sebagian besar masyarakat mengira bahwa pendapatan yang banyak berarti rizkinya juga banyak. Padahal yang benar tidak demikian, karena pendapatan dengan rizki adalah dua hal yang berbeda.
Seperti dikutip dari buku Fiqih ASN dan Karyawan oleh Ustadz Ammi Nur Baits, Anda simak kesimpulan ini: “Setiap rizki adalah pendapatan, tapi tidak semua pendapatan akan menjadi rizki.” Sehingga pendapatan lebih luas cakupannya dibandingkan rizki.
Untuk bisa memahami kaidah ini, mari kita simak penjelasan berikut, Hakekat rizki adalah apa yang ditakdirkan oleh Allah untuk melayani kehidupan kita di dunia. Sehingga hakekat rizki adalah apa yang kita konsumsi, apa yang kita gunakan sampai rusak, atau harta apa pun yang melayani diri kita.
Seperti inilah hakekat rizki yang dijelaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis dari Abdullah bin Sikhir radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
يقولُ ابنُ آدَمَ: مَالِي، مَالِي، قالَ: وَهلْ لَكَ -يا ابْنَ آدَمَ- مِن مَالِكَ إلَّا ما أَكَلْتَ فأفْنَيْتَ، أَوْ لَبِسْتَ فأبْلَيْتَ، أَوْ تَصَدَّقْتَ فأمْضَيْتَ
“Manusia selalu mengatakan, Hartaku... hartaku...' padahal hakekat dari hartamu, wahai manusia hanyalah apa yang kamu makan sampai habis, apa yang kamu gunakan sampai rusak, dan apa yang kamu sedekahkan, sehingga tersisa di hari kiamat.” (HR. Ahmad 16305, Muslim 7609, dan yang lainnya)
Sementara apa yang kita kumpulkan belum tentu menjadi jatah rizki kita, karena tidak semua hasil yang kita kumpulkan, kita yang akan mengonsumsinya atau menggunakannya.
Oleh karena itu, sekaya apa pun manusia, sebanyak apa pun penghasilannya, dia tidak akan mampu melampaui jatah rizkinya.
Orang yang punya satu ton beras, dia hanya akan makan sepiring saja. Orang yang memiliki 100 mobil, dia hanya akan memanfaatkan satu mobil saja. Orang yang memiliki 100 rumah, dia hanya akan menempati satu ruangan saja, demikian seterusnya. Sementara sisanya, bukan dia yang memanfaatkannya, meskipun dia yang memilikinya.
Banyak orang Jakarta yang memiliki villa di sekitar puncak atau di daerah lain. Namun, belum tentu dia bisa menikmatinya setiap pekan, bahkan belum tentu setiap bulan.
Bisa jadi Anda memiliki tabungan ratusan juta di rekening. Namun, pada hakekatnya yang bisa Anda manfaatkan hanya sekian persen saja. Sisanya orang lain yang akan memanfaatkannya.
Bisa jadi ada orang memiliki harta yang sangat melimpah dari hasil korupsi atau mengambil uang negara. Namun, dia selalu dihantui ketakutan, jangan sampai ketahuan KPK atau tertangkap aparat. Sehingga dia berusaha melakukan money laundry, beli aset di mana-mana atas nama orang lain. Namun, nyatanya dia tidak mampu memanfaatkannya.
Terlebih lagi ketika dia memiliki banyak penyakit, banyak makanan yang menjadi pantangan baginya, sehingga dia tidak bisa mengonsumsi aneka hidangan, padahal uangnya banyak. Itulah cara Allah membatasi rizki hamba-Nya. Mereka bisa memiliki, tetapi belum tentu bisa menikmatinya.
Sementara kita memahami karakter dunia, yang halal dihisab, yang haram diazab. Sehingga mereka yang mengumpulkan harta dengan cara yang haram, dia harus menanggung resikonya di akhirat. Padahal belum tentu dia bisa memanfaatkannya ketika di dunia.