REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Umumnya mahar diberikan suami kepada istri berbentuk benda atau barang. Lantas bolehkah memberikan mahar berbentuk jasa? Sahkah nikahnya?
Isnan Ansory dalam buku Fikih Mahar mengatakan, pada dasarnya para ulama bersepakat bahwa mahar dapat berwujud pemberian manfaat atas sesuatu kepada istri. Apakah berupa manfaat dari benda seperti kendaraan atau perbuatan manusia seperti pelayanan seorang pembantu yang disewa oleh suami untuk menjadi mahar bagi istrinya.
Hal ini didasarkan kepada ayat Alquran yang menjelaskan tentang mahar dari pernikahan Nabi Musa AS dengan anak gadis Nabi Syuaib AS yang berupa jasa pekerjaan yang dilakukan oleh Nabi Musa AS.
Hal ini terlihat dalam Alquran Surat Al Qashash ayat 27, “Qola inni uridu an unkihaka ihda-bnatayya haataini ala an ta’jurani tsamaaniya hijajin, fa in atmamta asyran famin indika, wa maa uridu an asyuqqo alaika, satajiduni in syaa allah minassholihin.”
Yang artinya, “Berkatalah dia (Syuaib); sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan 10 tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.”
Dijelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat terkait mahar dalam bentuj jasa yang diisyaratan dalam hadits-hadits pernikahan sahabat. Di mana hadits-hadits tersebut seakan mengisyaratkan bahwa mahar berupa jasa tersebut tidak memiliki nilai harta.
Padahal syarat sahnya mahar adalah jika memiliki nilai harta (mutaqowwam). Seperti mahar pernikahan Ummu Sulaim dan Abu Thalhah dalam riwayat Imam An Nasai yang berupa keislamannya.