REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Pada hakikatnya, para ulama saling berbeda pendapat mengenai najis atau tidaknya sperma. Kesemua ulama memiliki dalih yang berlandaskan dengan pedoman syariat.
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjelaskan, menurut sebagian ulama, termasuk Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, sperma hukumnya najis. Sedangkan menurut sebagian ulama lain, termasuk Imam Syafii, Imam Ahmad, dan Imam Dawud, hukum sperma adalah suci.
Terdapat dua hal yang menimbulkan perbedaan pendapat tersebut. Pertama, kerancuan riwayat hadits Sayyidah Aisyah. Disebutkan, “Kuntu aghsilu tsauba Rasulillah SAW minal manni fayakhruju ilashholati wa inna fihi labqo’al maa-i.” Yang artinya, “Aku mencuci pakaian Rasulullah SAW yang terkena sperma, lalu beliau memakainya untuk sholat, padahal masih ada sisa air.”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku menggosok pakaian Rasulullah SAW…” dan dalam riwayat yang lain lagi disebutkan, “Kemudian beliau sholat dengan memakai pakaian itu.” Kalimat tambahan ini diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Kedua, ketidakjelasan status sperma apakah disamakan dengan benda-benda lain yang keluar dari tubuh manusia, atau disamakan dengan cairan-cairan suci yang keluar daripadanya; seperti keringat, susu, dan lain sebagainya.
Para ulama yang berupaya yang mengkompromikan semua hadits tersebut menyatakan bahwa tujuan mencuci adalah demi kebersihan. Mereka berdalih bahwa yang digosok adalah benda yang suci, karena upaya menggosok tidak mungkin dapat menyucikan sesuatu yang najis.
Mereka menganalogikan sperma dengan cairan-cairan suci yang keluar dari tubuh. Berdasarkan hal itu, maka menurut ulama kalangan ini hukum sperma tidaklah najis. Sementara para ulama yang lebih mengunggulkan hadits pertama daripada hadits kedua yang berarti bahwa yang dicuci maupun yang digosok itu najis, maka mereka mengatakan bahwa hukum sperma adalah najis.
Kesimpulan yang sama juga dikemukakan oleh para ulama yang yakin jika gosokan dapat menghilangkan najis. Artinya, bahwa yang dilakukan oleh Sayyidah Aisyah ialah mencuci dan menggosok sesuatu yang najis, yakni sperma. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah.
Maka berdasarkan hal ini, berarti hujjah yang mengacu pada hadits kalau melakukan sholat dengan menggunakan pakaian seperti itu, tidak dapat diterima. Sebaliknya, hadits ini bisa menjadi hujjah yang menguatkan pendapat Imam Abu Hanifah, yakni bahwa selain air bisa digunakan untuk menghilangkan najis. Pendapat ini jelas menyalahi pendapat para ulama dari kalangan Madzhab Maliki.